tragedi politik
nusantara, regenerasi maestro nasakom vs anak cucu ideologis nasakom
Popularitas nasakom pada
zamannya mampu mengalahkan fenomena nasgitel di kalangan rakyat kebanyakan. Penyeruput
nasgitel sebagai ritual mengawali pagi. Sebelum melakoni kehidupan hari ini. Dilengkapi
jadah plus tahu-tempe. Perut terganjal sampai siang. Atau bak burung, berangkat
terang tanah sore pulang kantong berisi.
Lapisan rakyat yang kian
berlapis. Terkisahkan lapisan paling atas, punya semboyan hari ini siapa yang
akan saya libas. Apalagi pucuk piramida struktur penduduk, masyarakat, rakyat
yang harus mempertahankan dan mengamankan posisi puncaknya.
Daya, rasa dan laku
prihatin masyarakat Jawa agar anak cucunya sukses, dadi wong becik. Terus berlanjut sampai akhir keterkinian. Menuju batas
keterkanaan.
Dimensi lain nasakom
terjadi di rumah makan menyajikan menu Padang. Warung makan wong Jawa dengan
modus pelanggan belum datang, menu sudah siap saji. Pemilik modal berlaku
sebagai kasir plus petugas warung. Tidak bisaogah-ogahan, karena prinsip sedang
menjalankan usaha dan perusahannya.
Porsi dibungkus dengan
makan di tempat, ada perbedaan pasal. Jika makan di tempat, satu piring kurang
menendang. Lauk masih menantang lawan. akhirnya acungkan tangan ke petugas
sambil ujar: “tambah nasaku . . . ”. Petugas warung
paham yang dimaksud, yaitu tambah nasi, sayur dan kuah. Jadilah periode kedua perut terisi
mata jelalatan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar