Halaman

Jumat, 13 September 2019

tragedi politik nusantara, regenerasi maestro nasakom vs anak cucu ideologis nasakom


tragedi politik nusantara, regenerasi maestro nasakom vs anak cucu ideologis nasakom

Popularitas nasakom pada zamannya mampu mengalahkan fenomena nasgitel di kalangan rakyat kebanyakan. Penyeruput nasgitel sebagai ritual mengawali pagi. Sebelum melakoni kehidupan hari ini. Dilengkapi jadah plus tahu-tempe. Perut terganjal sampai siang. Atau bak burung, berangkat terang tanah sore pulang kantong berisi.

Lapisan rakyat yang kian berlapis. Terkisahkan lapisan paling atas, punya semboyan hari ini siapa yang akan saya libas. Apalagi pucuk piramida struktur penduduk, masyarakat, rakyat yang harus mempertahankan dan mengamankan posisi puncaknya.

Daya, rasa dan laku prihatin masyarakat Jawa agar anak cucunya sukses, dadi wong becik. Terus berlanjut sampai akhir keterkinian. Menuju batas keterkanaan.

Dimensi lain nasakom terjadi di rumah makan menyajikan menu Padang. Warung makan wong Jawa dengan modus pelanggan belum datang, menu sudah siap saji. Pemilik modal berlaku sebagai kasir plus petugas warung. Tidak bisaogah-ogahan, karena prinsip sedang menjalankan usaha dan perusahannya.

Porsi dibungkus dengan makan di tempat, ada perbedaan pasal. Jika makan di tempat, satu piring kurang menendang. Lauk masih menantang lawan. akhirnya acungkan tangan ke petugas sambil ujar: “tambah nasaku . . . ”. Petugas warung paham yang dimaksud, yaitu tambah nasi, sayur dan kuah. Jadilah periode kedua perut terisi mata jelalatan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar