Halaman

Sabtu, 20 Juni 2020

nasionalisme kerakyatan vs berketuhanan kepenguasaan


nasionalisme kerakyatan vs berketuhanan kepenguasaan

Nyiur melambai sepanjang pantai terbuka, bukan alasan masakan perlaukan apa saja, kalau tak bersantan, dianggap belum tua-tua kelapa. Masih ‘daun muda’ yang disukai bandot. Sama lokasi beda kasus, muncul paham kecil-kecil cabai rawit. Diimbangi lagu wajah manis siapa punya.

Genre kenusantaraan berbaur dengan ragam melayu. Tak heran jika lagu, batik, makanan khas daerah sampai pulau-kecil diklaim oleh negara serumpun. Boleh bangga, modus korupsi plus lembaga dan atau hukum anti-korupsi hanya ada di nusantara.

Menghadapi aksi teroris lintas negara, gerakan radikal global, alat negara yang berwajib, berwenang, berkepentingan tampak gagah perkasa. Pilih tanding. Fakta nusantara sebagai surga atau daerah tujuan utama narkoba dunia. Lihat posisi tawar negara di forum mondial.

Menurut perspektif sejarah “kebudayaan” atau maksudnya mirip,  asal tahu saja bahwa usia dan atau umur kepercayaan, seperti dinamisme, animisme dan politeisme, diasumsikan lebih tua ketimbang agama. Beda pasal dengan perspektif teologi, agama itu lebih duluan daripada aliran keyakinan, arus kepercayaan. Padahal, agama langit dibawa oleh nabi dan atau rasul.

Lepas dari arus utama pensejarahan, bangsa nusantara mendaulat ajaran politik bawaan manusia, laik dibilang agama primitif. Apalagi ada ajaran yang mendunia. Penganut, atau tepatnya obyek politik adalah wong cilik penyandang penyakit miskin keturunan.

Keberadaan masyarakat miskin secara ekonomis menjadi dilematis, dikotomis skala negara, skala nasional. Ajang adu gengsi kepentingan yang sama-sama tidak pakai tenaga dalam. Menjadi nilai jual untuk memperluas, menambah, meninggikan ULN sekaligus menjadi obyek pensuburan berkelanjutan paham ateisme.

Gerakan aksi nyata maupun tindak masif  senyap anti-monoteisme, anti-ketauhidan naik derajat menjadi konstitusional, legal formal.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar