nasionalisme kerakyatan
vs berketuhanan kepenguasaan
Nyiur melambai sepanjang pantai terbuka, bukan alasan masakan perlaukan apa
saja, kalau tak bersantan, dianggap belum tua-tua kelapa. Masih ‘daun muda’
yang disukai bandot. Sama lokasi beda kasus, muncul paham kecil-kecil cabai
rawit. Diimbangi lagu wajah manis siapa punya.
Genre kenusantaraan berbaur dengan ragam melayu. Tak heran jika lagu,
batik, makanan khas daerah sampai pulau-kecil diklaim oleh negara serumpun.
Boleh bangga, modus korupsi plus lembaga dan atau hukum anti-korupsi hanya ada
di nusantara.
Menghadapi aksi teroris lintas negara, gerakan radikal global, alat negara
yang berwajib, berwenang, berkepentingan tampak gagah perkasa. Pilih tanding.
Fakta nusantara sebagai surga atau daerah tujuan utama narkoba dunia. Lihat
posisi tawar negara di forum mondial.
Menurut perspektif sejarah “kebudayaan” atau maksudnya mirip, asal tahu saja bahwa usia dan atau umur kepercayaan,
seperti dinamisme, animisme dan politeisme, diasumsikan lebih tua ketimbang
agama. Beda pasal dengan perspektif teologi, agama itu lebih duluan daripada aliran
keyakinan, arus kepercayaan. Padahal, agama langit dibawa oleh nabi dan atau
rasul.
Lepas dari arus utama pensejarahan, bangsa nusantara mendaulat ajaran
politik bawaan manusia, laik dibilang agama primitif. Apalagi ada ajaran yang
mendunia. Penganut, atau tepatnya obyek politik adalah wong cilik penyandang
penyakit miskin keturunan.
Keberadaan masyarakat miskin secara ekonomis menjadi dilematis, dikotomis
skala negara, skala nasional. Ajang adu gengsi kepentingan yang sama-sama tidak
pakai tenaga dalam. Menjadi nilai jual untuk memperluas, menambah, meninggikan
ULN sekaligus menjadi obyek pensuburan berkelanjutan paham ateisme.
Gerakan aksi nyata maupun tindak masif senyap anti-monoteisme, anti-ketauhidan naik
derajat menjadi konstitusional, legal formal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar