konsolidasi komunitas
anti-religiusitas nusantara
Ketika olah kata saya, ditayangkan oleh laman partai politik Islam tingkat
kecamatan. Ada pihak kebakaran jenggot. Langsung meledek saya sebagai anggota
partai. Bukan kritik substansi. Padahal berbagai tulisan saya menjadi rujukan
karya ilmiah. Minimal ditayangkan selaku pikiran pembaca, dicuplik dari sumber
resmi media cetak.
Menulis terkait agama Islam, tidak harus tampilkan surat dan atau ayat dari
Al-Quran maupun Hadist atau Sunnah Rasulullah. Sebagai acuan utama dengan sebut
sumbernya. Disajikan secara umum dan bersahaja. Sebagai informasi yang menambah
dan membuka wawasan pemirsa.
Artinya, banyak resep agama yang bisa kita simak dari alam lingkungan,
sejauh mata dan kuping menangkap sinyal. Kepekaan hati menunjang substansi,
materi, pokok sajian. Soal judul atau tema, tak perlu disebut ulang atau
dijelaskan per alinea. Judul berlaku selaku kesimpulan, maknawi.
Masih pada aplikasi media sosial bukan arus utama, tapi banyak pemanfaat
karena melek TIK. Tayangan olah kata saya, bahas pelabelan Islam (Islam
nusantara), dari aspek awam. Serta merta ada dari kalangan ustadz, yang mencak-mencak
tanpa jurus. Lagi-lagi yang diserang masalah pribadi. Sedikitpun tak menyangkal
secara substansial. Pokoknya serang nazab suku, nama orang tua dan malah bikin
geli.
Dari dua kejadian disebut di atas. Bikin miris karena mereka kebetulan satu
almamater dengan presiden RI ketujuh. IQ jelas tak meragukan. Pasal komen yang
menunjukkan isi hati, cerdas diri seolah tak terkait dengan IQ. Komen “keilmiahan”,
jelas menunjukkan kadar lain. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar