Halaman

Jumat, 19 Juni 2020

konsolidasi komunitas anti-religiusitas nusantara


konsolidasi komunitas anti-religiusitas nusantara

Ketika olah kata saya, ditayangkan oleh laman partai politik Islam tingkat kecamatan. Ada pihak kebakaran jenggot. Langsung meledek saya sebagai anggota partai. Bukan kritik substansi. Padahal berbagai tulisan saya menjadi rujukan karya ilmiah. Minimal ditayangkan selaku pikiran pembaca, dicuplik dari sumber resmi media cetak.

Menulis terkait agama Islam, tidak harus tampilkan surat dan atau ayat dari Al-Quran maupun Hadist atau Sunnah Rasulullah. Sebagai acuan utama dengan sebut sumbernya. Disajikan secara umum dan bersahaja. Sebagai informasi yang menambah dan membuka wawasan pemirsa.

Artinya, banyak resep agama yang bisa kita simak dari alam lingkungan, sejauh mata dan kuping menangkap sinyal. Kepekaan hati menunjang substansi, materi, pokok sajian. Soal judul atau tema, tak perlu disebut ulang atau dijelaskan per alinea. Judul berlaku selaku kesimpulan, maknawi.

Masih pada aplikasi media sosial bukan arus utama, tapi banyak pemanfaat karena melek TIK. Tayangan olah kata saya, bahas pelabelan Islam (Islam nusantara), dari aspek awam. Serta merta ada dari kalangan ustadz, yang mencak-mencak tanpa jurus. Lagi-lagi yang diserang masalah pribadi. Sedikitpun tak menyangkal secara substansial. Pokoknya serang nazab suku, nama orang tua dan malah bikin geli.

Dari dua kejadian disebut di atas. Bikin miris karena mereka kebetulan satu almamater dengan presiden RI ketujuh. IQ jelas tak meragukan. Pasal komen yang menunjukkan isi hati, cerdas diri seolah tak terkait dengan IQ. Komen “keilmiahan”, jelas menunjukkan kadar lain. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar