Ketika Perempuan Terpinggirkan Oleh
Pekerjaan Wanita
Bukan asumsi sejarah peran kaun Hawa
nusantara, apalagi sampai masuk babakan empiris, hipotesis. Semakin hak-hak
perempuan diformulasikan secara lokal atau diuniversalkan bergaya bahasa global.
Bukti ringan bahwa agama kian jauh dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedudukan kaum hawa di nusantara –
bedakan dengan Hawa nusantara – tergantung daya peneliti, potensi pengamat dan
moral penilai yang seolah bebas dalam ketidakbebasan. Cuplikan rekam jejak
kontribusi, kiprah, kinerja kaun hawa bukan mewakili gambaran seutuhnya.
Tiap kaum Hawa nusantara mempunyai
rangkaian riwayat hidup yang khas, spesifik bak sidik ujung jari. Kendati tipologi
garis atau rajah tangan sama-sama bernasib tak beda jauh, mirip tapi tak
persis. Ironis binti miris, antar saudara kandung tidak otomatis berhasil akhir
setara. Walau perjalanan hidupnya tipikal, standar atau sudah ada tradisi
turun-termurun.
Bukan sekedar salah kaprah atau
kebablasan, jika kisah sukses atau kriteria sukses selaku kaum Hawa secara
kodrati. Seolah setara bahkan mampu menyalip prestasi vs prestise kaum Adam. Miris
namun menjadi umum, kondisi ekonomi menentukan dunia wanita. Diimbangi dengan
oleh pengkondisian anak-anak sesuai HAM.
Stigma, pelabelan, cap miring, pemberian
predikat, sertifikasi status sosial ekonomi politik hukum pada masyarakat
rakyat oleh sistem pemerintahan negara berkembang. Jelas bin memelas, ternyata
malah ada sebutan pria kemayu, lelaki tulang lunak, lanang gemulai, jantan berkonde,
laki-laki semu, maya. Entahlah, masih banyak datata terselubung, fakta
berlapis. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar