Halaman

Minggu, 21 Juni 2020

wong cilik plus penyakit miskin turunan


wong cilik plus penyakit miskin turunan

Ada dua contoh tentang manusia berpunya secara fisik kebendaan. Namun dari aspek arus masuk uang alias pendapatan, penghasilan, perolehan lain halnya. Menjadi fokus kasus tendensius, ambisius pemirsa.

Pertama. Pasangan muda dari keturunan orang kaya, minimal status ekonomi menengah ke samping. Punya rumah tinggal pribadi bukan warisan. Dimodali orang tua pihak perempuan atau pihak laki-laki sama saja. Agar anak langsung tancap ber-rumah tangga samawa. Tak pakai energi angsur, cicil rumah bulanan.

Dari kisah kejadian nyata yang katanya orang, dari kuping ke telinga beda pilihan lapangan kerja. Ternyata, kendati pasutri sama-sama mencari nafkah. Dibebani biaya beban listrik di atas standar rumah murah non-subsidi sekalipun. Disiasati tidak semua lampu nyala di malam hari.  Apa daya, tagihan masih menyedot uang belanja. Penyejuk ruangan tidak bikin sejuk dompet.

Kedua. Rumah keluarga besar, anak cucu di satu rumah. Singkat angkat kata, perjalanan waktu yang bicara. Akhirnya, tinggal anak cucu ke berapa yang menghuni rumah. Penghuni lain ikut nasib adu nasib di kota lain, lokasi jauh. Profesi penghuni terakhir, yang mungkin secara akademis tapi kalah bersaing.

Kendati rumah tinggal versi KPT-BTN tahun 80an dan sudah lunas atau jatah. Kondisi pas-pasan membuat penghuni susah tarik nafas layak hidup sederhana. Pilihan ideal atau lepas gengsi, pakai pondok mertua indah. Rumah hunia mau dikontrakkan, lokasi tak menggairahkan.

Sebetulnya, masih banyak contoh yang bukan menjadi bahan pertimbangan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar