Halaman

Minggu, 07 Juni 2020

bedah jeroan kesalahan administrasi, toleransi vs abai nan lalai


bedah jeroan kesalahan administrasi, toleransi vs abai nan lalai

Berkat Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, maka Indonesia mengenal, mempunyai hukum nasional. Tepatnya, muncul sebagai Pasal 1 Ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. Jangan lupa asumsi historis, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Bagaimana lambang hukum nasional.

Adalah UU RI 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah. Memang tersurat pasal berisi ‘kesalahan administrasi’ tetapi tidak ada penjelasan batasannya. Janga risau, masih ada penggunaan istilah ‘kesalahan’. Salah satunya simak Penjelasan Pasal 63, Ayat (1), Huruf b:
Yang dimaksud dengan “kesalahan redaksional” adalah kelalaian dalam penulisan dan kesalahan teknis lainnya.

Terkait lambang hukum nasional, anggapan awal, awam, bukti empiris, hipotesis bahwasanya hukum di tangan penguasa.

Hukum tak pilih kasih plus tak kenal tebang pilih. Maksudnya, hukum berkemampuan diri bisa memilah dan atau memilih, pihak mana yang wajib ditebang, ditendang, sampai tumbang. Pihak siapa yang layak ditebas, dilibas sampai tuntas. Blokade, blokir karirnya. Biar tahu rasa. Kawanan buaya kulit kebal hukum kok dilawan.

Secara hukum, bahasa hukum, kamus hukum atau hukum yang berlaku umum, formal di nusantara. Bahwasanya, berkat Perubahan Kedua tahun 2000 UUD NRI 1945, NKRI baru mengenal kata, lema ‘ayom’. Mungkin, sebagai logo, lambang, publik sedikit banyak tahu itu lambang pihak mana. Betul, terkait dengan ‘hukum’.

Yang menarik tetapi tidak menarik. Jangan diartikan bagimana riwayatnya kata, lema ‘ayom’ menjadi hak milik pemilik dan atau alat negara penyedia jasa keamanan.

Dengan kata lain, penegakkan hukum lebih fokus ke prosedur tetapi mengabaikan substansi. Prosesi hukum nasional  akan menciptakan pelayanan sesuai paket jasa layanan. Tentunya  masih akan mengabaikan kompetensi etika. Tanggung jawab moral merupakan hakikat utama penegakkan hukum.

Abai terhadap ayat-ayat hukum tak tertulis, masih bisa direhabilitasi dengan model sanksi sosial. Ketika terjadi toleransi hukum karena melihat siapa pihak yang berperkara, siapa pihak yang menjadi terdakwa. Bawah sadar sudah memupuk, menumpuk kiamat lokal. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar