struktur negara kedap
suara rakyat
Hubungan timbal balik antara negara
dengan rakyat, bagaimana bunyinya sesuai standar ideal, moderat maupun
suka-suka. Pakai sifat dinamis, gelap, liar tergantung sentimen pasar lokal. Apa
jadinya jika negara terlalu kuat terhadap rakyat. Pola ini seolah rakyat hanya
sekedar pengguna aktif hak politik 5 menit dalam lima tahun. Sebaliknya, apa
jadinya jika rakyat dominan terhadap eksistensi, jati diri penyelenggara
negara. Bukan berarti negara lemah, efek multipartai banyak titik lemah, bidang
retak.
Menjaring, menyaring pendapat ahli
tata negara, akan didapat banyak pendapat. Satu orang bukan menelurkan satu
pendapat. Bisa dua tiga alternatif katanya. Itupun tidak satu kebulatan
pemikiran. Semangkin rumyam, jika pihak yang pernah merasa kuasa, ikut saran
sumbang vs sumbang suara.
Praktik kedaulatan rakyat masih
digarap di atas kertas. Benang merah demokrasi sejak tahun 2004, dengan jelas
menunjukkan praktik politik kekuasaan. Pemain dan pelaku lama, yang haus
kekuasaan, tanpa sungkan, tanpa malu, tanpa tedeng aling-aling, maju lagi, maju
lagi, maju lagi. Tokoh dan sosok muda, pendatang, ternyata tidak tahan godaan
dan rajuan dunia, mereka terjegal dan terjagal pasal tipikor atau tindak pidana
lainnya. Ada yang baru muncul menikmati kursi empuk wakil rakyat, kepala daerah
atau bagian dari penyelenggara negara, tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan
atau kegebuk gada KPK setelah pasca periodenya.
Bagaimanapun juga, dari aspek
konstotusinal, yuridis formal kebangsaan, sebutan rakyat yang kurang beruntung,
uneducated people, permanent underclass, termarginalkan dan
terpinggirkan secara sistematis, begitulah nasibnya.
Bukan salah fenomena terjadi strata
sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga atau klasifikasi
warga negara. Senjata makan tuan atau kurang sajèn. Serba mungkin. Asas
keseimbangan, satu suara bisa menentukan bobot, berat, kadar. Satu kilogram
(1kg), hanya kurang satu gram (1gr), tidak bisa disebut 1kg atau 1000 gr.
Demi menjaga wibawa negara, maka tak
ayal penguasa akan menggunakan jurus dan ajian serba mégatéga. Bilamana perlu
dengan pola hapus jejak dan riwayat sejarah tersangka.
Berkat Perubahan Kedua UUD NRI 1945 pada tahun 2000, muncul pasal
baru, ayat baru, yaitu:
Pasal 28C
(2)
Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya.
Bagaimana membunyikan ungkapan
“memajukan diri” agar tampak konstitusional. Minimal masuk ranah politik
nusantara yang sarat moral. Tak pakai jauh dan apalagi berliku. Bukan kebetulan
ada kemudhan di depan mata. Ternyata dengan lanjut menyimak iseng sampailah
pada:
Pasal 28D
(3)
Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Seolah-olah, seakan-akan ada jalan
pintas bahwa setiap orang bisa langsung berkecimpung di pemerintahan. Apa yang
dimaksud dengan pemerintahan?
Padahal, tanpa Perubahan UUD NRI
1945 sudah tersurat sedemikiannya:
Pasal 27
(1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Tersirat, bahwa semua orang bisa
ikut laga bola. Tanpa proses prosedur apapun. Pokoknya asal bisa menendang,
berlari dan adu kaki. Tanpa pengalaman politik, namun karena punya kendaraan
politik, bisa langsung masuk kawanan, barisan memegang kekuasaan pemerintahan
negara.
Perkuatan negara dengan menambah
kursi karier alat negara agar tak ada perwira tinggi nonjob, menempatkan mereka
ke birokrasi sipil, memasukkan mereka
kedalam barisan pembantu presiden serta pasal lainnya. Pratanda. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar