Halaman

Kamis, 11 Juni 2020

struktur negara kedap suara rakyat


struktur negara kedap suara rakyat

Hubungan timbal balik antara negara dengan rakyat, bagaimana bunyinya sesuai standar ideal, moderat maupun suka-suka. Pakai sifat dinamis, gelap, liar tergantung sentimen pasar lokal. Apa jadinya jika negara terlalu kuat terhadap rakyat. Pola ini seolah rakyat hanya sekedar pengguna aktif hak politik 5 menit dalam lima tahun. Sebaliknya, apa jadinya jika rakyat dominan terhadap eksistensi, jati diri penyelenggara negara. Bukan berarti negara lemah, efek multipartai banyak titik lemah, bidang retak.

Menjaring, menyaring pendapat ahli tata negara, akan didapat banyak pendapat. Satu orang bukan menelurkan satu pendapat. Bisa dua tiga alternatif katanya. Itupun tidak satu kebulatan pemikiran. Semangkin rumyam, jika pihak yang pernah merasa kuasa, ikut saran sumbang vs sumbang suara.

Praktik kedaulatan rakyat masih digarap di atas kertas. Benang merah demokrasi sejak tahun 2004, dengan jelas menunjukkan praktik politik kekuasaan. Pemain dan pelaku lama, yang haus kekuasaan, tanpa sungkan, tanpa malu, tanpa tedeng aling-aling, maju lagi, maju lagi, maju lagi. Tokoh dan sosok muda, pendatang, ternyata tidak tahan godaan dan rajuan dunia, mereka terjegal dan terjagal pasal tipikor atau tindak pidana lainnya. Ada yang baru muncul menikmati kursi empuk wakil rakyat, kepala daerah atau bagian dari penyelenggara negara, tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan atau kegebuk gada KPK setelah pasca periodenya.

Bagaimanapun juga, dari aspek konstotusinal, yuridis formal kebangsaan, sebutan rakyat yang kurang beruntung, uneducated people, permanent underclass, termarginalkan dan terpinggirkan secara sistematis, begitulah nasibnya.

Bukan salah fenomena terjadi strata sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga atau klasifikasi warga negara. Senjata makan tuan atau kurang sajèn. Serba mungkin. Asas keseimbangan, satu suara bisa menentukan bobot, berat, kadar. Satu kilogram (1kg), hanya kurang satu gram (1gr), tidak bisa disebut 1kg atau 1000 gr.

Demi menjaga wibawa negara, maka tak ayal penguasa akan menggunakan jurus dan ajian serba mégatéga. Bilamana perlu dengan pola hapus jejak dan riwayat sejarah tersangka.

Berkat Perubahan Kedua  UUD NRI 1945 pada tahun 2000, muncul pasal baru, ayat baru, yaitu:
Pasal 28C
(2)           Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Bagaimana membunyikan ungkapan “memajukan diri” agar tampak konstitusional. Minimal masuk ranah politik nusantara yang sarat moral. Tak pakai jauh dan apalagi berliku. Bukan kebetulan ada kemudhan di depan mata. Ternyata dengan lanjut menyimak iseng sampailah pada:
Pasal 28D
(3)           Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Seolah-olah, seakan-akan ada jalan pintas bahwa setiap orang bisa langsung berkecimpung di pemerintahan. Apa yang dimaksud dengan pemerintahan?

Padahal, tanpa Perubahan UUD NRI 1945 sudah tersurat sedemikiannya:
Pasal 27
(1)           Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Tersirat, bahwa semua orang bisa ikut laga bola. Tanpa proses prosedur apapun. Pokoknya asal bisa menendang, berlari dan adu kaki. Tanpa pengalaman politik, namun karena punya kendaraan politik, bisa langsung masuk kawanan, barisan memegang kekuasaan pemerintahan negara.

Perkuatan negara dengan menambah kursi karier alat negara agar tak ada perwira tinggi nonjob, menempatkan mereka ke  birokrasi sipil, memasukkan mereka kedalam barisan pembantu presiden serta pasal lainnya. Pratanda.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar