gairah politik tulang lunak
nusantara, atas nama konstitusi vs makar berlapis
Menghadapi dua pilihan yang sewajah
tapi tak seroman. Gampangannya, menebak wajah anak kembar dua yang identik,
satu telur. Pakai dalil moderat, pilah-pilih sampai coba-coba. Tebak buah manggis lain pasal. Menyangkut nasib
diri, tidak bisa spontanitas asal pilih. Kata ahlinya, yang terlintas di
pikiran pertama kali, itulah semacam “petunjuk”. Soal ada kejadian di luar angan-angan,
serahkan kepada pengadilan akhirat.
Kontrak politik tanpa pasal ikatan
moral. Bukan laku politik nista. Dianggap cerdas bermasa depan. Mengakomodir daya
jangkau kedampakan biaya politik. Detailisasi periode lima tahun agar tampak
kebutuhan ’pintu darurat’. Asas kolaborasi, integrasi sampai sinergitas
merupakan wujud teranyarkan dari sistem politik ‘sama rasa sama rata’.
Ingat kejadian sampai terjadinya
siang dan malam. Religiusitas umat manusia semua agama langit, memahami
pemanfaatan waktu sampai batas kurun waktunya. Pilhan bukan mana yang lebih
bermanfaat bagi umat, apakah penguasa malam atau penguasa siang. Demi amannya, nyata
terbukti adalah kuasipolitik, politiksemu menjadi agama bumi.
“Jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah” ujaran BK menjadi daya dorong kebatinan, cerdas mental pelestarian ‘nasakom
jiwaku’. Perguliran sejarah global, semacam meluncurnya bola salju. Sampai di
tanah nusantara menjadi fakta fenomenal “berkat nila sebelangga, apa daya
setetes susu segar”. Akhirnya, tak layak menolak ajakan berkesempatan plus tak
pantas kejar uber spekulasi politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar