Halaman

Selasa, 23 Juni 2020

terlarang, dudu sing paling larang, paling awis


terlarang, dudu sing paling larang, paling awis

Selaku bangsa besar karena populasi penduduk malah bersaing mencetak sejarah prestise ketimbang sejarah prestasi. Sejarah meninggalkan fakta bahwasanya daya khayali, reka imajinasi, angan fantasi melambai, rekayasa internal anak bangsa pribumi mampu membuat ybs lupa diri. Lupa sedang berada dimana, sebagai apa dan bisanya apa.

Pada derajat, martabat kemanusiaan tertentu, secara sadar plus yakin diri masuk kawasan terdegradasi, degenerasi menjadi manusia bangkrut alam akhirat. Citra reka kemartabatan diri jauh di atas potensi alami secara genetik. Sejarah akan berulang, memunculkan kembali karakter diri pada seseorang yang sudah lama tidak muncul pada generasi sebelumnya.

Juga tidak. Beras lokal kualitas global, jika bibit unggulnya tidak terjaga, akan jatuh diri menjadi pakan ayam. Terbukti, generasi peolok-olok politik segala usia, sejatinya generasi apkiran, generasi kapiran.

Alias karakter teranyarkan akibat manipulasi sejarah hitam bangsa. Pelaku khianat bangsa karena dari kalangan terpandang, hukum nasional kalah garang. Berlanjut secara politis.  Berlaku eiposode “buaya vs buaya”.

Roda perhukuman nusantara tergantung siapa atau pihak mana selaku penggerak utama. Bukan larangan tak tertulis atau pasal bersanksi yang dilanggar secara sadar bermufakat. Pedang dewi keadilan tahu diri. Bisa menjadi alat pelindung. Bisa menjadi alat tebang pilih. Bisa menjadi dalil pemusnah bangsa.

Minimal terbukti bermanfaat melibas lawan beda pilihan. Sekaligus melestarikan petugas pengisi skenario sejarah hitam nusantara. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar