Halaman

Rabu, 26 Agustus 2015

revolusi mental negara multipartai, menyederhanakan kebijakan vs menyederhanakan tindakan

revolusi mental negara multipartai, menyederhanakan kebijakan vs menyederhanakan tindakan

Sungguh apes bin sial nasib bangsa ini. Bayangkan, tuah Pancasila di hati anak cucu penggalinya hanya tinggal kenangan manis. Hanya tinggal rasa bangga atas perjuangan nenek moyangnya. Hanya bisa dibangga-banggakan  untuk bahan celotehan yang diliput media massa. Hanya menjadi dogma bahwa negara dianggap sebagai warisan. Hanya sebagai pembenaran bahwa menjadi pengurus negara menjadi hak milik turun-temurun.

Tak heran, beberapa pemulung di kompleks perumahan saya, jauh sebelum azan subuh sudah beraktivitas. Saingan dekat untuk bongkar muat bak sampah cuma anjing atau kucing. Dimeriahkan kawanan tikus berbagai jenis, ukuran badan. Satu bak sampah bisa didatangi beberapa pemulung. Hasilnya, isi bak sampah bisa berhamburan keluar sarangnya. Sampah dapur yang dimasukkan dalam kantong plastik, dibongkar paksa oleh pemulung dengan ganconya. Isinya dikeluarkan sampai ludes.

Ironis, bak sampah yang rumahnya di atas rata-rata, bak sampahnya aman. Isi bak sampah, yang tidak kw2 atau masih layak manfaat, menggunung menungu tukang sampah dari pemkot mengangkutnya berbasis retribusi sampah. Antar bos pemulung seolah sudah ada kebijakan tak tertulis tentang pembagian wilayah kerja. Pembagian waktu pun bisa disepakati untuk ‘daerah basah’. Tidak perlu pasal kerja sama atau MOU. Sudah ada kesepakatan antar waktu, sesama pemulung jangan saling mentung. Sehingga di lapangan kader pemulung tidak rebutan kursi kekuasaan. Diharapkan, pemulung berjuang di pagi buta, pulang sore bawa hasil. Lapak pemulung cukup luas dan bisa menjadi biang polusi lingkungan.

Zaman Orde Lama, kaca menjadi incaran pemulung. Kemajuan teknologi dan dinamika pasar, banyak barang bekas yang bisa dilipat. Tukang loak dengan modal gerobak dan timbangan ikut menyemarakkan aksi pemulung maupun pemungut barang bekas di jalan, di got atau yang menggeletak di mana saja, tak bertuan. Budaya baca diganti gadget, sehingga rumah tangga yang berlangganan surat kabar menjadi berkurang secara sistematis dan sigifikan.

Kreativitas dan daya juang pemulung sejalan dengan kelengahan warga, penghuni rumah. Walau ada yang menjadi pelanggan ibu-ibu rumah tangga yang akan buang alat rumah tangga, atau barang bekas lainnya. Pemulung bisa menjadi multifungsi, bisa menjadi perpanjangan tangan yang multimanfaat.

Pemulung menjadi satu-satunya profesi yang kebal fluktuasi nilai tukar Rp. Yang tidak terpengaruh harga pasaran, malah diuntungkan. Tidak dianggap teroris karena menimbun barang, menunggu harga pasar yang menjanjikan. Menunggu kebutuhan dan permintaan masyarakat yang meningkat.

Jangan heran, partai politik pemenang pesta demokrasi sampai yang didirikan jelang pemilu, modus operandinya serupa tapi tak sewajah dengan oknum pemulung. Bandar politik bisa duduk manis sambil berkipas-kipas bak bos pemulung. Tiap saat terima upeti, setoran dan barang bekas, khususnya dapat kursi kosong, menganggur, tak bertuan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar