revolusi mental
negara multipartai, menyederhanakan kebijakan vs menyederhanakan tindakan
Sungguh apes bin sial nasib bangsa ini. Bayangkan, tuah Pancasila
di hati anak cucu penggalinya hanya tinggal kenangan manis. Hanya tinggal rasa
bangga atas perjuangan nenek moyangnya. Hanya bisa dibangga-banggakan untuk bahan celotehan yang diliput media
massa. Hanya menjadi dogma bahwa negara dianggap sebagai warisan. Hanya sebagai
pembenaran bahwa menjadi pengurus negara menjadi hak milik turun-temurun.
Tak heran, beberapa pemulung di kompleks perumahan saya, jauh sebelum
azan subuh sudah beraktivitas. Saingan dekat untuk bongkar muat bak sampah cuma
anjing atau kucing. Dimeriahkan kawanan tikus berbagai jenis, ukuran badan.
Satu bak sampah bisa didatangi beberapa pemulung. Hasilnya, isi bak sampah bisa
berhamburan keluar sarangnya. Sampah dapur yang dimasukkan dalam kantong
plastik, dibongkar paksa oleh pemulung dengan ganconya. Isinya dikeluarkan
sampai ludes.
Ironis, bak sampah yang rumahnya di atas rata-rata, bak sampahnya
aman. Isi bak sampah, yang tidak kw2 atau masih layak manfaat, menggunung
menungu tukang sampah dari pemkot mengangkutnya berbasis retribusi sampah.
Antar bos pemulung seolah sudah ada kebijakan tak tertulis tentang pembagian
wilayah kerja. Pembagian waktu pun bisa disepakati untuk ‘daerah basah’. Tidak
perlu pasal kerja sama atau MOU. Sudah ada kesepakatan antar waktu, sesama
pemulung jangan saling mentung. Sehingga di lapangan kader pemulung tidak
rebutan kursi kekuasaan. Diharapkan, pemulung berjuang di pagi buta, pulang
sore bawa hasil. Lapak pemulung cukup luas dan bisa menjadi biang polusi
lingkungan.
Zaman Orde Lama, kaca menjadi incaran pemulung. Kemajuan teknologi
dan dinamika pasar, banyak barang bekas yang bisa dilipat. Tukang loak dengan
modal gerobak dan timbangan ikut menyemarakkan aksi pemulung maupun pemungut
barang bekas di jalan, di got atau yang menggeletak di mana saja, tak bertuan.
Budaya baca diganti gadget, sehingga rumah tangga yang berlangganan surat kabar
menjadi berkurang secara sistematis dan sigifikan.
Kreativitas dan daya juang pemulung sejalan dengan kelengahan
warga, penghuni rumah. Walau ada yang menjadi pelanggan ibu-ibu rumah tangga
yang akan buang alat rumah tangga, atau barang bekas lainnya. Pemulung bisa
menjadi multifungsi, bisa menjadi perpanjangan tangan yang multimanfaat.
Pemulung menjadi satu-satunya profesi yang kebal fluktuasi nilai
tukar Rp. Yang tidak terpengaruh harga pasaran, malah diuntungkan. Tidak
dianggap teroris karena menimbun barang, menunggu harga pasar yang menjanjikan.
Menunggu kebutuhan dan permintaan masyarakat yang meningkat.
Jangan heran, partai politik pemenang pesta demokrasi sampai yang
didirikan jelang pemilu, modus operandinya serupa tapi tak sewajah dengan oknum
pemulung. Bandar politik bisa duduk manis sambil berkipas-kipas bak bos pemulung.
Tiap saat terima upeti, setoran dan barang bekas, khususnya dapat kursi kosong,
menganggur, tak bertuan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar