dicari,
ahli penjinak pasal anti korupsi Nusantara
Di negeri yang
multitafsir, multimakna, multiinterpretasi ini kita harus berfikir apa adanya,
cukup semacam saja, tidak perlu bermacam-macam. Kalau perlu tidak perlu
memikirkan apa yang sudah dipikirkan oleh orang lain, tepatnya sudah ada yang
memikirkannya lebih sistematis. Sudah banyak ahli pikir, surplus pemikir bin
pemakar yang memikirkan Nusantara siang malam.
Yang kita pikir
adalah bagaimana kita sesegera mungkin melaksanakan pikiran kita. Mewujudkan
pikiran kita melalui proses sesuai koridor kapasitas diri.
Rambu-rambu “AWAS
COPET !”, dengan huruf kapital berwarna
merah berarti larangan/peringatan keras, dipajang, dipasang di tempat umum.
Ternyata, nyatanya malah mengandung dan
mengundang tafsir, makna, interpretasi yang diharapkan bahwa anda telah memasuki
kawasan tempat beroperasinya copet. Sekaligus sebaliknya sebagai peringatan
buat tukang copet agar segera melakukan
aksinya, sesuai lokasi peruntukannya. Artinya, bahwa mereka yang berkepentingan
telah memasuki ruang kerja dan harus segera bekerja (sebagai tukang copet
tentunya).
Di periode 2014-2019,
tukang copet kalah pamor dengan koruptor. Tukang copet kalau terkena tindak tangkap
tangan (T3) atau tertangkap basah oleh calon korban, atau masyarakat,
dipastikan akan mengalami kejadian peristiwa ‘maih hakim sendiri’. Nyawa bisa
melayang, meregang akibat berbagai cara. Minimal babak belur. Koruptor kalau
apes kena razia T3, malah bisa jual tampang di media massa, khsusnya media
penyiaran televisi. Penggerebekannya ditayangkan ulang demi peringkat, pesan
sponsor dan atas nama Rp. Koruptor bisa jadi bintang tamu di berbagai acara,
adegan dan atraksi media layar kaca.
Ironis, rambu-rambu ‘KPK’ (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan huruf kapital
berwarna merah hanya pada huruf ‘P’ (Pemberantasan),
telah membikin gerah, membuat resah, menjadikan gelisah calon koruptor. Kalau ‘tukang
copet’ mempunyai wadah yang dikenal sebagai komplotan. Antar komplotan ada
aturan main tak terulis. Apalagi di internal komplotan, ada semacam ketua umum
atau jajaran pimpinan utama sampai divisi perekrutan dan pengkaderan.
Di periode 2014-2019,
para pelaku koruptor merasa tidak bersalah, merasa tidak melanggar hukum,
merasa kebal pasal.
§
Korupsi
dilakukan secara sistematis, masif, berkelanjutan dan berjamaah serta berasas
gotong royong dengan pembagian kerja yang rinci.
§
Korupsi
ditegakkan demi kesejahteraan bersama melalui berbagai modus operandi yang
sulit diendus, dilacak oleh aparat penegak hukum.
§
Korupsi
dilaksanakan tidak menunggu kelengahan calon korban atau menungu kesempatan
bahkan bersifat proaktif dan persuasif.
§
Korupsi
dijalankan dengan kehati-hatian tinggi, penuh perhitungan langkah antisipatif
jika terkena T3 atau pakai rencana-B berbasis jurus berkelit.
§
Korupsi
dipraktekkan antar pelaku proses penyusun anggaran dengan sistem barter politik,
kerjasama/kolaborasi antar penyelenggara negara.
§
Korupsi
diupayakan sesuai semangat Revolusi Mental yang mengutamakan politik transaksional,
politik balas jasa sekaligus politik balas dendam, serta pengamalan ideologi
Rp.
§
Korupsi diusahakan menganut
semboyan “tiji, tibeh”. Terjemahan bebasnya yaitu sejahtera satu, sejahtera
semuanya. Ketangkap satu, selamat semuanya.
Rambu-rambu ‘KPK’ yang tidak dipasang sembarang tempat, menjadikan
pihak tertentu merasa kawasan, daerah atau wilayah kekuasaan
sebagai sumber mata pencaharian “legal dan formal”, ATM mobilenya, sistem
penjatahannya, arus masuk Rp terusik, terganggu bahkan dirongrong, direcoki,
atau di”bongkar paksa” pihak lain. Pihak tertentu tersinggung hati nuraninya, tidak
terima sebagai koruptor dibilang copet. “Ada Rp ada tindak pidana korupsi”,
kata peribahasa.
Proses legislasi DPR yang
menghasilkan UU bersama Pemerintah, bukannya tanpa dampak, bebas ekses, sepi
efek. Muatan pasal hukum, bersifat dilematis, dikotomis, kontradiktif dan
bertolak belakang, tidak bisa memuaskan semua pihak yang terlibat. Jika ada
pihak yang diuntungkan (khususnya pedonor inisiasi pasal) tentu ada pihak
bernasib sebaliknya, pihak yang dirugikan, yang merasa ruang geraknya dibatasi.
Pasal hukum yang bertujuan mencegah tangkal tindak pidana korupsi sejak dini,
di sarangnya, malah menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. Antar hamba
hukum, antar pelaku penegak hukum, antar aparat hukum menjadi seolah saling
incar kaki lawan sambil menohok kawan seiring dan mengunting dalam lipatan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar