Halaman

Minggu, 30 Agustus 2015

dicari, ahli penjinak pasal anti korupsi Nusantara

dicari, ahli penjinak pasal anti korupsi Nusantara

Di negeri yang multitafsir, multimakna, multiinterpretasi ini kita harus berfikir apa adanya, cukup semacam saja, tidak perlu bermacam-macam. Kalau perlu tidak perlu memikirkan apa yang sudah dipikirkan oleh orang lain, tepatnya sudah ada yang memikirkannya lebih sistematis. Sudah banyak ahli pikir, surplus pemikir bin pemakar yang memikirkan Nusantara siang malam.

Yang kita pikir adalah bagaimana kita sesegera mungkin melaksanakan pikiran kita. Mewujudkan pikiran kita melalui proses sesuai koridor kapasitas diri.

Rambu-rambu “AWAS COPET !”, dengan huruf kapital berwarna merah berarti larangan/peringatan keras, dipajang, dipasang di tempat umum. Ternyata, nyatanya malah  mengandung dan mengundang tafsir, makna, interpretasi yang diharapkan bahwa anda telah memasuki kawasan tempat beroperasinya copet. Sekaligus sebaliknya sebagai peringatan buat tukang copet  agar segera melakukan aksinya, sesuai lokasi peruntukannya. Artinya, bahwa mereka yang berkepentingan telah memasuki ruang kerja dan harus segera bekerja (sebagai tukang copet tentunya).

Di periode 2014-2019, tukang copet kalah pamor dengan koruptor. Tukang copet kalau terkena tindak tangkap tangan (T3) atau tertangkap basah oleh calon korban, atau masyarakat, dipastikan akan mengalami kejadian peristiwa ‘maih hakim sendiri’. Nyawa bisa melayang, meregang akibat berbagai cara. Minimal babak belur. Koruptor kalau apes kena razia T3, malah bisa jual tampang di media massa, khsusnya media penyiaran televisi. Penggerebekannya ditayangkan ulang demi peringkat, pesan sponsor dan atas nama Rp. Koruptor bisa jadi bintang tamu di berbagai acara, adegan dan atraksi media layar kaca.

Ironis, rambu-rambu ‘KPK’ (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan huruf kapital berwarna merah hanya pada huruf ‘P’ (Pemberantasan), telah membikin gerah, membuat resah, menjadikan gelisah calon koruptor. Kalau ‘tukang copet’ mempunyai wadah yang dikenal sebagai komplotan. Antar komplotan ada aturan main tak terulis. Apalagi di internal komplotan, ada semacam ketua umum atau jajaran pimpinan utama sampai divisi perekrutan dan pengkaderan.

Di periode 2014-2019, para pelaku koruptor merasa tidak bersalah, merasa tidak melanggar hukum, merasa kebal pasal.
 §    Korupsi dilakukan secara sistematis, masif, berkelanjutan dan berjamaah serta berasas gotong royong dengan pembagian kerja yang rinci.
 §    Korupsi ditegakkan demi kesejahteraan bersama melalui berbagai modus operandi yang sulit diendus, dilacak oleh aparat penegak hukum.
 §    Korupsi dilaksanakan tidak menunggu kelengahan calon korban atau menungu kesempatan bahkan bersifat proaktif dan persuasif.
 §    Korupsi dijalankan dengan kehati-hatian tinggi, penuh perhitungan langkah antisipatif jika terkena T3 atau pakai rencana-B berbasis jurus berkelit.
 §    Korupsi dipraktekkan antar pelaku proses penyusun anggaran dengan sistem barter politik, kerjasama/kolaborasi antar penyelenggara negara.
 §    Korupsi diupayakan sesuai semangat Revolusi Mental yang mengutamakan politik transaksional, politik balas jasa sekaligus politik balas dendam, serta pengamalan ideologi Rp.
 §    Korupsi diusahakan menganut semboyan “tiji, tibeh”. Terjemahan bebasnya yaitu sejahtera satu, sejahtera semuanya. Ketangkap satu, selamat semuanya.

Rambu-rambu ‘KPK’ yang tidak dipasang sembarang tempat, menjadikan pihak tertentu merasa kawasan, daerah atau wilayah kekuasaan sebagai sumber mata pencaharian “legal dan formal”, ATM mobilenya, sistem penjatahannya, arus masuk Rp terusik, terganggu bahkan dirongrong, direcoki, atau di”bongkar paksa” pihak lain. Pihak tertentu tersinggung hati nuraninya, tidak terima sebagai koruptor dibilang copet. “Ada Rp ada tindak pidana korupsi”, kata peribahasa.

Proses legislasi DPR yang menghasilkan UU bersama Pemerintah, bukannya tanpa dampak, bebas ekses, sepi efek. Muatan pasal hukum, bersifat dilematis, dikotomis, kontradiktif dan bertolak belakang, tidak bisa memuaskan semua pihak yang terlibat. Jika ada pihak yang diuntungkan (khususnya pedonor inisiasi pasal) tentu ada pihak bernasib sebaliknya, pihak yang dirugikan, yang merasa ruang geraknya dibatasi. Pasal hukum yang bertujuan mencegah tangkal tindak pidana korupsi sejak dini, di sarangnya, malah menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. Antar hamba hukum, antar pelaku penegak hukum, antar aparat hukum menjadi seolah saling incar kaki lawan sambil menohok kawan seiring dan mengunting dalam lipatan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar