kadar revolusi mental Nusantara, menegakkan benang basah vs
mewujudkan janji kampanye
Peribahasa “bagai menegakkan benang basah” sudah tak berlaku di
era Reformasi yang gegap gempita di awalnya saja. Benang sebagai bahan baku
industri tenun Nusantar datang melenggang bebas masuk dari negeri Tiongkok/Cina
atau sebutan nama lainnya. Benang hasil rekayasa genetik, mempunyai keunggulan
- walau tanpa bahan pengawet, perasa buatan, pewarna yang memang untuk
inndustri – sesuai pesanan. Setelah dipintal jadi benang, ditenun jadi kain,
dijahit jadi busana, dsb.
Benang dari daratan Cina,
jika”basah” seolah bagaikan bertulang. Atau pinjam seruling India yang bisa
membangunkan ular cobra bangkit tegak menjulur ke atas.
Bagaimana nasib mewujudkan
janj kampanye. Apakah hanya sebatas sebagai peribahasa. Ataukah hanya sebagai
bunga-bunga kampanye, sebagai pemanis. Apalagi kampanye berskala nasional,
ditayangkan melalui media massa sebagai debat antar pasangan calon presiden dan
calon wakil presiden.
Kampanye memang saudara
seayah promosi tukang jual obat di kali lima. Menawarkan obat manjur bin
mujarab, bisa mengobati 1001 macam jenis penyakit. Masalahnya, varian penyakit
selalu muncul tanpa terdeteksi sejak dini. Setelah memakan korban, baru orang
sibuk meracik obat. Obat yang tersedia, obat yang super manjur pun tidak bisa
berisifat preventif apalagi antisipatif. Kualitas obat mengalami degradasi
secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Seperti pemilik warung makanan,
lauk rakyat tahu tempe mengalami proses minimlaisasi dengan harga tetap. Atau
porsi menjadi menciut, dengan piring tetap.
Kampanye Jokowi-JK secara
akademis, secara strategi di atas kertas, secara penjabaran dalam formulasi
Trisakti dan Nawa Cita, memang layak jual. Bahkan “terbukti” mengalahkan konsep
para pesaingnya.
Jangankan rakyat pemilih yang
tidak faham proposal, bahkan usai dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan RI-2,
Jokowi-JK lantas lupa janji kampanyenya. Berbagai bentuk paket ditawarkan.
Semakin banyak paket, semakin membuktikan proposal/konsep jualan saat kampaye
pilpres memang sebatas promosi, pencitraan agar rakyat terlena. Jangan-jangan Jokowi-JK salah
minum obat. Obat untuk penenang diri, melupakan keruwetan hidup, mengabaikan penghinaan
jabatan presiden, malah berdampak lupa janji kampanye. Namun sekaligus kebal
terhadap tukang tagih janji. Namun tidak kebal terhadap tindakan yang
menyanjung dirinya. Tidak peka terhadap kefasikan media massa yang menjadi
pendukungnya, karena sudah dapat berbagai bonus imbalan.
Indonesia diuntungkan oleh
berbagai kejadian dan peristiwa. Musibah haji 1436H mengalihkan perhatian
rakyat terhadap perjalanan bangsa dan negara. Orang jadi lupa akan kinerja
Pemerintah. Berbagai peringatan dalam negeri, menjadikan pemerintah sibuk dengan
acara seremonial, acara kenegaraan. Ironis, acara hajatan partai politik pemenang
tunggal pesta demokrasi 2014 menjadi acara kenegaraan. Apalagi digelar secara prestisius.
Orang tepuk dada,
membusungkan dada, berani mati, tampil di barisan depan di belakang Bung Karno.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Holobis kuntul baris. (hay
Lubis, ada burung kuntul baris).
Relawan, tim sukses,
penggembira, berdiri sampai mati dalam lingkaran terdalam dekat Jokowi-JK.
Itupun bukan jaminan. Yang penting ada restu dari bandar politik, sang presiden
senior. Minimal ketika sang pewaris negara diam, atau pamer tangis, tanda setuju. Begitu saja kok
repot.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar