Halaman

Kamis, 01 Oktober 2015

kadar revolusi mental Nusantara, menegakkan benang basah vs mewujudkan janji kampanye

kadar revolusi mental Nusantara, menegakkan benang basah vs mewujudkan janji kampanye

   Peribahasa “bagai menegakkan benang basah” sudah tak berlaku di era Reformasi yang gegap gempita di awalnya saja. Benang sebagai bahan baku industri tenun Nusantar datang melenggang bebas masuk dari negeri Tiongkok/Cina atau sebutan nama lainnya. Benang hasil rekayasa genetik, mempunyai keunggulan - walau tanpa bahan pengawet, perasa buatan, pewarna yang memang untuk inndustri – sesuai pesanan. Setelah dipintal jadi benang, ditenun jadi kain, dijahit jadi busana, dsb.

Benang dari daratan Cina, jika”basah” seolah bagaikan bertulang. Atau pinjam seruling India yang bisa membangunkan ular cobra bangkit tegak menjulur ke atas.

Bagaimana nasib mewujudkan janj kampanye. Apakah hanya sebatas sebagai peribahasa. Ataukah hanya sebagai bunga-bunga kampanye, sebagai pemanis. Apalagi kampanye berskala nasional, ditayangkan melalui media massa sebagai debat antar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Kampanye memang saudara seayah promosi tukang jual obat di kali lima. Menawarkan obat manjur bin mujarab, bisa mengobati 1001 macam jenis penyakit. Masalahnya, varian penyakit selalu muncul tanpa terdeteksi sejak dini. Setelah memakan korban, baru orang sibuk meracik obat. Obat yang tersedia, obat yang super manjur pun tidak bisa berisifat preventif apalagi antisipatif. Kualitas obat mengalami degradasi secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Seperti pemilik warung makanan, lauk rakyat tahu tempe mengalami proses minimlaisasi dengan harga tetap. Atau porsi menjadi menciut, dengan piring tetap.

Kampanye Jokowi-JK secara akademis, secara strategi di atas kertas, secara penjabaran dalam formulasi Trisakti dan Nawa Cita, memang layak jual. Bahkan “terbukti” mengalahkan konsep para pesaingnya.

Jangankan rakyat pemilih yang tidak faham proposal, bahkan usai dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan RI-2, Jokowi-JK lantas lupa janji kampanyenya. Berbagai bentuk paket ditawarkan. Semakin banyak paket, semakin membuktikan proposal/konsep jualan saat kampaye pilpres memang sebatas promosi, pencitraan agar rakyat terlena. Jangan-jangan Jokowi-JK salah minum obat. Obat untuk penenang diri, melupakan keruwetan hidup, mengabaikan penghinaan jabatan presiden, malah berdampak lupa janji kampanye. Namun sekaligus kebal terhadap tukang tagih janji. Namun tidak kebal terhadap tindakan yang menyanjung dirinya. Tidak peka terhadap kefasikan media massa yang menjadi pendukungnya, karena sudah dapat berbagai bonus imbalan.

Indonesia diuntungkan oleh berbagai kejadian dan peristiwa. Musibah haji 1436H mengalihkan perhatian rakyat terhadap perjalanan bangsa dan negara. Orang jadi lupa akan kinerja Pemerintah. Berbagai peringatan dalam negeri, menjadikan pemerintah sibuk dengan acara seremonial, acara kenegaraan. Ironis, acara hajatan partai politik pemenang tunggal pesta demokrasi 2014 menjadi acara kenegaraan.  Apalagi digelar secara prestisius.

Orang tepuk dada, membusungkan dada, berani mati, tampil di barisan depan di belakang Bung Karno. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Holobis kuntul baris. (hay Lubis, ada burung kuntul baris).

Relawan, tim sukses, penggembira, berdiri sampai mati dalam lingkaran terdalam dekat Jokowi-JK. Itupun bukan jaminan. Yang penting ada restu dari bandar politik, sang presiden senior. Minimal ketika sang pewaris negara diam, atau pamer tangis, tanda setuju. Begitu saja kok repot.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar