20 oktober 2014 - 20 oktober 2015, biaya
politik vs ekonomi rakyat
Kita wajib bersyukur, bahwa hari ini, selasa
20 Oktober 2015, berarti sudah 1 (satu) tahun presiden RI ke-7 melaksanakan
kewajibannya.
Sebagai rakyat kita wajib mendoakan agar para
oknum penyelenggara negara dapat mentuntaskan kewajibannya sampai akhir masa
jabatan. Tidak terjegal dan terganjal pasal tipikor atau perilaku penyimpangan
jabatan. Tidak turun di tengah jalan, melihat rumput tetangga lebuh ranum dan
hijau. Tidak dipanggil KPK.
Kita doakan agar sang presiden ingat dimana
dia berada, sadar dimana dia berada, dan yang paling pokok adalah ingat dan
sadar untuk siapa dia jadi presiden.
Jika ada penilaian terhadap kinerja presiden,
lebih tepat dikaitkan dengan parpol pemenang pesta demokrasi 2014, tidak siap
dengan kemenangannya. Ibarat pelari estafet, pelari terakhir di periode 2014-2019
sudah loyo, layu, lunglai, lesu, letih, lemah. Sisa semangatnya hanya merasa
bahwa negara sebagai warisan nenek moyangnya. Bandar politik pengusung Jokowi,
bertindak sebagai presiden senior.
Kado utama dan
mahak dipersembahkan oleh partai nasdem. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menetapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem Patrice
Rio Capella sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap proses
penanganan kasus bantuan
sosial (bansos) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Menurut
Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Johan Budi, Patrice Rio Capella ditetapkan
sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR.
"Penyidik
telah menemukan 2 bukti permulaan yang cukup menetapkan PRC (Patrice Rio
Capella) sebagai tersangka selaku anggota DPR," ujar Johan Budi saat jumpa
pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Artinya secara de
facto dan de jure biaya politik sangat mempengaruhi peta politik
presiden RI ke-7. Bayangkan, oknum partai nasdem seklas sekjen, ternyata dengan
sadar telah masuk jajaran tipikor. Biaya politik dampak dari politik
transaksional, idelogi RP, politik balas jasa, balas budi sekaligus politik
balas dendam.
Oknum ketum partai nasdem tidak sekedar
kebakaran jenggot. Berbagai media online menayangkan wawancara khususnya. Apa
katanya, yaitu : “Kenapa
tidak menyangkutkan yang tinggi sekalian, kenapa tidak bilang ini konspirasi
presiden? Ada konspirasi?”.
Rakyat faham, selama ini bagaimana oknum
ketum nasdem mendaulat dirinya, merasa jasanya sehingga Jokowi-JK bisa dilantik
jadi RI-1 dan RI-2, sehingga memposisikan dirinya di atas rata-rata.
Pemilik nasdem yang selalu berkoar tentang semangat
mau berkorban untuk nusa dan bangsa, apalagi memiliki congor dan corong untuk
berpropaganda jual obat manjur mengatasi luka bangsa dan negara. Rakyat semakin
yakin bahwa itu semua hanya sebagai hiasan belaka. Bahkan tepatnya bahwa ybs
saja tidak tahu apa yang diomongkan. Tidak faham apa yang diomongkan kosong
atau sekedar biar dianggap orator.
- Biar dikira pemikir ulung, penuh dengan gagasan adi luhung, atau bukan sekedar mencari untung.
- Biar diduga sebagai satu-satunya manusia yang memprihatinkan nasib bangsa, menghiba-hiba agar bisnis laris manis.
- Biar disangka ahli, lihai, mahir, pakar dan nara sumber utama yang layak dan patut mengatur negara sesuai tabiatnya mengatur uang.
- Biar didakwa sebagai filsuf yang sudah melupakan urusan dunia, sambil mempraktikkan mengatur negara bak mengatur uang.
Jangan ditafsirkan kalau ekonomi rakyat
selama satu tahun ini tidak diperhatikan. Masuk hitungan RPJMN. Tidak termasuk
menjadikan perut rakyat sebagai tabung reaksi. Rakyat siapa satu, siap
kencangkan ikat pinggang ala zaman Orde Baru atau siap dijejali pangan dan pakan
produk mancanegara. Yang di negera asalnya tidak dijual untuk rakyatnya, apalagi
dikonsumsi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar