Halaman

Kamis, 08 Oktober 2015

paket kebijakan versi tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan

paket kebijakan versi tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan

Lepas dari arti dan  makna peribahasa “tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan”, karena bersifat dinamis. Tergantung selera yang menafsirkannya. Karena bahasa menunjukkan bangsa, bisa untuk berbalas pantun atau bisa menjadi guyon parikeno.

Orang bijak pandai memilih kata dan ahli menyusun kalimat, sehingga enak dibaca, kalau diucapkan enak di telinga. Ternyata manusia tidak bisa mengendalikan gerak telinga. Alat dari pancaindra ini menjadikan si empunya jujur. Telinga tidak ada filternya, seperti alat indra penciuman.

Bahasa tulis bisa menjadi bukti otentik, dibanding bahasa tutur, bahasa lisan, walau ada rekamannya. Bahasa orang bijak,tidak ada hubungannya dengan bahasa paket kebijakan pemerintah. Walau enak dibaca, nyaman didengar, namun belum tentu menghasilkan sesuatu yang berbasis kebajikan.

Paket kebijakan, jangan diartikan muncul dari orang bijak, biasanya mengakomodir keinginan, tuntutan, aspirasi pihak tertentu. Tidak mungkin menyenangkan dan mengenyangkan semua pihak. Paket kebijakan tidak memihak kepentingan mayoritas. Namanya saja bijak, beda dengan adil, tegas. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar