gerakan revolusi mental Nusantara, berjuang
sampai kepulan asap terakhir
Bukan salah bunda mengandung.
Belum meminang sudah menimang. Cacat
bawaan. Wis kebacut édan tenan, tetep ora keduman.
Daya juang, prestasi dan
kinerja, kiprah, kontribusi anak bangsa, ada yang bisa menembus skala internasional
melalui berbagai event lomba : adu cerdas, adu nyali, pamer busana, saji
kuliner, jual suara, berani mati, dsb. Mereka berkarya tanpa batas waktu
periode lima tahunan. Mereka rata-rata tidak kenal, bahkan tidak hafal pasal
gerakan Revolusi Mental. Ironis, kalau mereka ikut lomba cerdas cermat 4 Pilar Berbangsa
dan Bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika) sudah gugur administratif
di babak awal, di pendaftaran.
Semangat bambu
runcing masih menggelora dan membara di dada rakyat. Menjadi PKL, salah kaprah,
menjadi burunan Satpol PP. Menjadi PSK, dengan dalih sekedar memenuhi urusan
bawah perut, memanfatkan media sosial, bisa sebagai profesi bersertifikat.
Menjadi wakil rakyat / kepala daerah bisa-bisa bisa dipanggil KPK.
Gajah di pelupuk mata,
sudah bukan zamannya. Habitatnya tergusur dan terdesak kebutuhan manusia.
Kekayaan alam Nusantara menjadi incaran investor asing sejak zaman Majapahit.
Kandungan perut bumi dikeruk oleh pengusaha berlabel negara adidaya. Nasib rakyat terbelit, terjerat benang kapas
asal negara Tirai Bambu. Saudara Tua dengan santun melahirkan raja jalanan,
setan jalanan.
2014-2019 oknum
pe-Revolusi Mental, berjuang “tak mau mati” di puncak karir, mempertaruhkan
nasib bangsa dan negara. Tak ada rotan, akarpun jadi. Tak ada hutan, bakarpun jadi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar