Halaman

Kamis, 22 Oktober 2015

tahun pertama periode Jokowi-JK, bukan jaminan

tahun pertama periode Jokowi-JK, bukan jaminan

Alasannya sangat sederhana dan amat simpel, tidak perlu memakai jasa survei atau analisa akademis. Cukup dengan logika atau model hamba sahaya. Sedikit mengacu gugon tuhon masyarakat Jawa (Mataram). Bisa juga mengotal-atik makna Ibu Pertiwi.

Pertama dan hal utama yang perlu kita cerna adalah bahwa Jokowi-JK bisa dilantik dan disumpah sebagai RI-1 dan RI-2 melalui proses politik. Butuh kendaraan politik. Apalagi Jokowi bukan ketua umum partai politik. Parpol utama pendukung Jokowi sudah dua periode tidak turun gelanggang. Hanya sebagai oposisi banci, oposisi setengah hati.

Akibatnya seperti yang kita rasakan selama 20 Oktober 2014 s.d 20 Oktober 2015, parpol pemenang pesta demokrasi 2014 tidak siap menang, tidak siap estafet, apalagi siap menurunkan jago-jagonya untuk berlaga. Yang dikirim sebagai pembantu presiden hanya ayam sayur, jago kandang, karena silsilah. Jabatan ketua umum pun diaklamasikan sebagai jabatan seumur hidup.

Parpol baru lahir pengusung Jokow-JK hanya mengandalkan berkoar di media massa (milik pribadi), merasa jago pidato membangkitkan opini dan membangunkan sensasi. Menggagas konsep yang tidak membumi apalagi pro-rakyat. Membanggakan revolusi mental sebagi doktrin dan harga mati. Kebetulan jelang satu tahun pemerintah, oknum Sekjen partai NasDem, sebut saja Patrice Rio Capella (bukan nama samaran), dipanggil KPK atau versi lainnya. PRC menjadi korban revolusi mental.

Kalau RI-1 ke empat yang akrab dengan panggilan dan sebutan Gus Dur, dengan kharomahnya bisa “menerawang” ke depan, namun tidak bisa “membaca” dampaknya. SBY di dua periode 2004-2009 dan 2009-2014, didasari ilmu militernya, mempunyai jangkauan dan lompatan ke depan.

Yang satu ini, Jokowi, terkondisikan oleh peta politik hasil imajinasi bandar politik dan pesanan pihak berkepentingan. Menurut bahasa awam, melakukan hitung mundur. Membayangkan sudah ada “jawabab” atas raihan selama berkuasa. Maka segala potensi dipakai untuk mengamankan runutan ke belakang. Seperti metematika, sudah diketahui hasil akhir atau jawabannya, sehingga perhitungan dipas-paskan, disesuaikan, rumusnya dimanutkan, dipantaskan dengan proses perhitungan yang hasil / jawabannya sudah diketahui.

Tahun pertama sebagai tahun uji coba, tahun coba-coba, tahun percobaan. Tidak ada kaitannya dengan pengalaman Jokowi yang turun di tengah jalan saat jadi walikota Surakarta dan gubernur DKI Jakarta. Belum jatuh tempo sudah colong playu tinggal gelanggang. Tahun ketiga, tepatnya tengah periode, grafik kinerja akan lebih bisa dibaca arahnya.

Kabut asap bagian dari azab dunia, tak akan menyentuh syahwat politik Nusantara. Itu saja. Cukup sekian, karena bahasa rakyat tidak bertele-tele. Kuatir ada yang menangis terharu maupun ada yang berorasi menghiba-hiba.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar