tahun
pertama periode Jokowi-JK, bukan jaminan
Alasannya sangat sederhana
dan amat simpel, tidak perlu memakai jasa survei atau analisa akademis. Cukup
dengan logika atau model hamba sahaya. Sedikit mengacu gugon tuhon masyarakat
Jawa (Mataram). Bisa juga mengotal-atik makna Ibu Pertiwi.
Pertama dan hal utama yang
perlu kita cerna adalah bahwa Jokowi-JK bisa dilantik dan disumpah sebagai RI-1
dan RI-2 melalui proses politik. Butuh kendaraan politik. Apalagi Jokowi bukan
ketua umum partai politik. Parpol utama pendukung Jokowi sudah dua periode
tidak turun gelanggang. Hanya sebagai oposisi banci, oposisi setengah hati.
Akibatnya seperti yang kita
rasakan selama 20 Oktober 2014 s.d 20 Oktober 2015, parpol pemenang pesta
demokrasi 2014 tidak siap menang, tidak siap estafet, apalagi siap menurunkan
jago-jagonya untuk berlaga. Yang dikirim sebagai pembantu presiden hanya ayam
sayur, jago kandang, karena silsilah. Jabatan ketua umum pun diaklamasikan
sebagai jabatan seumur hidup.
Parpol baru lahir pengusung
Jokow-JK hanya mengandalkan berkoar di media massa (milik pribadi), merasa jago
pidato membangkitkan opini dan membangunkan sensasi. Menggagas konsep yang
tidak membumi apalagi pro-rakyat. Membanggakan revolusi mental sebagi doktrin
dan harga mati. Kebetulan jelang satu tahun pemerintah, oknum Sekjen partai
NasDem, sebut saja Patrice Rio Capella (bukan nama samaran), dipanggil KPK atau
versi lainnya. PRC menjadi korban revolusi mental.
Kalau RI-1 ke
empat yang akrab dengan panggilan dan sebutan Gus Dur, dengan kharomahnya bisa “menerawang”
ke depan, namun tidak bisa “membaca” dampaknya. SBY di dua periode 2004-2009
dan 2009-2014, didasari ilmu militernya, mempunyai jangkauan dan lompatan ke
depan.
Yang satu ini,
Jokowi, terkondisikan oleh peta politik hasil imajinasi bandar politik dan
pesanan pihak berkepentingan. Menurut bahasa awam, melakukan hitung mundur.
Membayangkan sudah ada “jawabab” atas raihan selama berkuasa. Maka segala
potensi dipakai untuk mengamankan runutan ke belakang. Seperti metematika,
sudah diketahui hasil akhir atau jawabannya, sehingga perhitungan dipas-paskan,
disesuaikan, rumusnya dimanutkan, dipantaskan dengan proses perhitungan yang hasil / jawabannya sudah
diketahui.
Tahun pertama
sebagai tahun uji coba, tahun coba-coba, tahun percobaan. Tidak ada kaitannya
dengan pengalaman Jokowi yang turun di tengah jalan saat jadi walikota
Surakarta dan gubernur DKI Jakarta. Belum jatuh tempo sudah colong playu
tinggal gelanggang. Tahun ketiga, tepatnya tengah periode, grafik kinerja
akan lebih bisa dibaca arahnya.
Kabut asap
bagian dari azab dunia, tak akan menyentuh syahwat politik Nusantara. Itu saja.
Cukup sekian, karena bahasa rakyat tidak bertele-tele. Kuatir ada yang menangis
terharu maupun ada yang berorasi menghiba-hiba. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar