Halaman

Kamis, 29 Oktober 2015

Menulis, karena hati ini telah lelah berkata

Menulis, karena hati ini telah lelah berkata

Kalimat yang berhasil dipahat di atas selembar kertas, diukir di atas secarik kertas, nampak sederhana. Bukan sekedar dari menderetkan kata. Bukan sekedar tata olah kata menjadi kalimat yang memang bisa dan mudah dibaca tetapi tidak berkata.

Kalimat bukan sekedar menuang semua bumbu dapur agar hasil masakan lezat, agar yang mencium aromanya  meneteskan air liur. Agar menggoda dan memancing selera. Mampu menggoyang lidah. Masakan yang nikmat di mulut dan tidak bikin sakit perut. Bukan itu. Tukang masak yang sarat pengalaman belum tentu hasil olahannya selalu menggiurkan.

Resep sederhana dihasilkan dari percobaan yang tidak sederhana, dirumuskan dari ratusan praktik.

Rendang, gudeg atau masakan khas daerah, dengan bahan dan bumbu sesuai petunjuk, namun diolah tidak sesuai prosedur, diolah tanpa hati, hanya sekedar jadi. Karena diuber waktu dan menguber Rp. Hasilnya tanpa citra dan tanpa cita rasa.

Begitu juga menulis. Seperti mencampur dan mengaduk adonan roti. Walau dibantu mesin, namun tidak memakai bumbu hati, perasaan, dan jiwa, roti yang dioven akan bantat atau tidak mau mengembang. Tanaman sebagai makhluk hidup akan merespon jiwa orang yang menyirami atas dasar kasih sayang atau sekedar tanaman jangan kekeringan.

Menulis adalah menghasilkan karya, beda dengan bicara, asal lawan bicara mengerti. Bahasa isyarat, bahasa tubuh pun bisa bermanfaat. Menulis berangkat dari perjalanan jiwa, hati dan rasa. Menulis sebagai hasil olah kalbu/qolbu. Menulis bisa dirangsang, dipancing, diprovokasi dari apa yang kita dengar, dari apa yang kita lihat. Bahkan alam pun adalah bacaan. Apalagi hati ini bukan tempat pembuangan akhir kata. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar