Menulis, karena hati ini telah lelah berkata
Kalimat yang berhasil dipahat di atas selembar kertas, diukir di
atas secarik kertas, nampak sederhana. Bukan sekedar dari menderetkan kata.
Bukan sekedar tata olah kata menjadi kalimat yang memang bisa dan mudah dibaca
tetapi tidak berkata.
Kalimat bukan sekedar menuang semua bumbu dapur agar hasil masakan
lezat, agar yang mencium aromanya meneteskan air liur. Agar menggoda dan
memancing selera. Mampu menggoyang lidah. Masakan yang nikmat di mulut dan
tidak bikin sakit perut. Bukan itu. Tukang masak yang sarat pengalaman belum
tentu hasil olahannya selalu menggiurkan.
Resep sederhana dihasilkan dari percobaan yang tidak sederhana,
dirumuskan dari ratusan praktik.
Rendang, gudeg atau masakan khas daerah, dengan bahan dan bumbu
sesuai petunjuk, namun diolah tidak sesuai prosedur, diolah tanpa hati, hanya
sekedar jadi. Karena diuber waktu dan menguber Rp. Hasilnya tanpa citra dan
tanpa cita rasa.
Begitu juga menulis. Seperti mencampur dan mengaduk adonan roti.
Walau dibantu mesin, namun tidak memakai bumbu hati, perasaan, dan jiwa, roti yang dioven
akan bantat atau tidak mau mengembang. Tanaman sebagai makhluk hidup akan
merespon jiwa orang yang menyirami atas dasar kasih sayang atau sekedar tanaman
jangan kekeringan.
Menulis adalah menghasilkan karya, beda dengan bicara, asal lawan
bicara mengerti. Bahasa isyarat, bahasa tubuh pun bisa bermanfaat. Menulis
berangkat dari perjalanan jiwa, hati dan rasa. Menulis sebagai hasil olah
kalbu/qolbu. Menulis bisa dirangsang, dipancing, diprovokasi dari apa yang kita
dengar, dari apa yang kita lihat. Bahkan alam pun adalah bacaan. Apalagi hati
ini bukan tempat pembuangan akhir kata. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar