prajurit
tua tak akan mati vs politisi sipil tak akan puas sampai mati
Tulisan ini saya
awali dengan mencupilk sambutan Presiden RI pada Peluncuran Buku
"Mengawali Integrasi Mengusung Reformasi", 2 Oktober 2012 :
“Mari kita jaga kasih sayang, keutuhan,
dan kerukunan dimulai dari keluarga, dari our family, meluas sampai
kepada tingkat kehidupan bangsa. Marilah kita terus berbakti dan mengabdi
kepada negara. Kita semua tahu pengabdian tidak mengenal batas akhir, old
soldiers never die, they just only fade away.
Bahkan ada yang mengatakan kalau usia
kita sekarang sudah di atas 60, mungkin sebagian di atas 70, dulu ada isitilah life
begins at 40, now kita bisa mengatakan 60 is still young.
Benar, meskipun postur kita PEPABRI, semangat harus AKABRI.”
Sah- sah saja jika
presiden, Susilo Bambang Yudhono (SBY), sebagai prajurit berujar demikian.
Sayang saya tidak menampilkan sambutan utuhnya.
SBY dua kali di
pilpres 2004 dan 2009 dipilih oleh rakyat dengan sistem pemilihan langsung yang
akhirnya dilantik dan disumpah jadi presiden RI ke-6, bukan karena sekedar rekam
jejaknya sebagai serdadu, maupun sebagai pemegang ijazah S3, karena mengikuti,
mentaati, melaksanakan aturan main politik, artinya “hanya” jabatan ketua umum
parpol yang secara tak langsung sebagai syarat utama yang punya hak mencalonkan
dirinya jadi capres.
Setelah 2 (dua)
periode diseleaikan, apakah masih ada semangat “prajurit tua” di dada dan jiwa
SBY. Ataukah justru naluri, insting dan intuisi politiknya yang dominan. Silahkan
pembaca mengomentarinya.
Tentunya SBY bukan
beranjak, berawal, bermula sebagai politisi sipil. Jangan heran jabatan
bergensi ketua umum partai politik, memang menjanjikan. Kalau bisa didaur
ulang. Persaingan menjadi ketua umum, sesui AD dan ART internal partai, malah
melahirkan konflik internal tanpa babak akhir. Kalau bisa dua kali, mengapa
harus sekali. Tragis, partai politik menjadi perusahaan industri politik
keluarga.
2 (dua) periode
SBY sebagai presiden, 2004-2009 dan 2009-2014, bukannta tanpa dampak nyata,
ekses terukur, efek domino terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem
pemerintahan yang merupakan fungsi politik, tidak mengenal oposisi, apalagi oposisi
banci, oposisi setengah hati (di saat SBY jadi presiden) terlebih adanya
istilah “presiden senior”. Di periode
2014-2019 terasa kehadiran mahluk politik yang berhasil mengendalikannya jiwa
dan semangat sosok sang presiden.
Jangan heran, politisi
sipil dengan modal pengalaman pernah sebagai : pembantu presiden, wakil
presiden bahkan presiden, atau pernah merasakan nikmat menjadi wakil rakyat, maupun
merasakan empuknya takhta kepala daerah, tak menjadikannya sebagai prajurit
tua, apalagi berfalsafah “they just only fade away”. Mereka merasa bahwa
hidup dimulai ketika berusia 60tahun. Apalagi jika merasa bahwa negara sebagai
warisan.
Politisi sipil
kambuhan, karbitan, orbitan; kader jenggot, kader tiban, kader titipan pun
sampai posturnya bak mobil antik, kuno, (bahkan sudah tidak diproduksi lagi) karena
ramuan obat kuat politik merasa dirinya bak mobil generasi terkini. Siap tancap
dan injak gas. Semanat sebagai sopir tua sudah tidak bisa menyesuaikan diri
dengan spesifikasi kendaraan politik besutan mutakhir. Sopir tua mematut diri, memaksakan
diri, mengira dirinya masih digdaya dengan ilmu masa lampaunya, mau memacu
mobilnya dan mengebut di jalur politik bebas aktif.
Di panggung,
industri dan syahwat politik, masih bersliweran politisi sipil yang tak mati-mati
- walau bukan sebagai mayat hidup - dan
tak akan puas sampai mati. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar