Halaman

Selasa, 13 Oktober 2015

prajurit tua tak akan mati vs politisi sipil tak akan puas sampai mati

prajurit tua tak akan mati vs politisi sipil tak akan puas sampai mati


Tulisan ini saya awali dengan mencupilk sambutan Presiden RI pada Peluncuran Buku "Mengawali Integrasi Mengusung Reformasi", 2 Oktober 2012 :

“Mari kita jaga kasih sayang, keutuhan, dan kerukunan dimulai dari keluarga, dari our family, meluas sampai kepada tingkat kehidupan bangsa. Marilah kita terus berbakti dan mengabdi kepada negara. Kita semua tahu pengabdian tidak mengenal batas akhir, old soldiers never die, they just only fade away.
Bahkan ada yang mengatakan kalau usia kita sekarang sudah di atas 60, mungkin sebagian di atas 70, dulu ada isitilah life begins at 40, now kita bisa mengatakan 60 is still young. Benar, meskipun postur kita PEPABRI, semangat harus AKABRI.”

Sah- sah saja jika presiden, Susilo Bambang Yudhono (SBY), sebagai prajurit berujar demikian. Sayang saya tidak menampilkan sambutan utuhnya.

SBY dua kali di pilpres 2004 dan 2009 dipilih oleh rakyat dengan sistem pemilihan langsung yang akhirnya dilantik dan disumpah jadi presiden RI ke-6, bukan karena sekedar rekam jejaknya sebagai serdadu, maupun sebagai pemegang ijazah S3, karena mengikuti, mentaati, melaksanakan aturan main politik, artinya “hanya” jabatan ketua umum parpol yang secara tak langsung sebagai syarat utama yang punya hak mencalonkan dirinya jadi capres.

Setelah 2 (dua) periode diseleaikan, apakah masih ada semangat “prajurit tua” di dada dan jiwa SBY. Ataukah justru naluri, insting dan intuisi politiknya yang dominan. Silahkan pembaca mengomentarinya.

Tentunya SBY bukan beranjak, berawal, bermula sebagai politisi sipil. Jangan heran jabatan bergensi ketua umum partai politik, memang menjanjikan. Kalau bisa didaur ulang. Persaingan menjadi ketua umum, sesui AD dan ART internal partai, malah melahirkan konflik internal tanpa babak akhir. Kalau bisa dua kali, mengapa harus sekali. Tragis, partai politik menjadi perusahaan industri politik keluarga.

2 (dua) periode SBY sebagai presiden, 2004-2009 dan 2009-2014, bukannta tanpa dampak nyata, ekses terukur, efek domino terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan yang merupakan fungsi politik, tidak mengenal oposisi, apalagi oposisi banci, oposisi setengah hati (di saat SBY jadi presiden) terlebih adanya istilah “presiden senior”.  Di periode 2014-2019 terasa kehadiran mahluk politik yang berhasil mengendalikannya jiwa dan semangat sosok sang presiden.

Jangan heran, politisi sipil dengan modal pengalaman pernah sebagai : pembantu presiden, wakil presiden bahkan presiden, atau pernah merasakan nikmat menjadi wakil rakyat, maupun merasakan empuknya takhta kepala daerah, tak menjadikannya sebagai prajurit tua, apalagi berfalsafah “they just only fade away”. Mereka merasa bahwa hidup dimulai ketika berusia 60tahun. Apalagi jika merasa bahwa negara sebagai warisan.

Politisi sipil kambuhan, karbitan, orbitan; kader jenggot, kader tiban, kader titipan pun sampai posturnya bak mobil antik, kuno, (bahkan sudah tidak diproduksi lagi) karena ramuan obat kuat politik merasa dirinya bak mobil generasi terkini. Siap tancap dan injak gas. Semanat sebagai sopir tua sudah tidak bisa menyesuaikan diri dengan spesifikasi kendaraan politik besutan mutakhir. Sopir tua mematut diri, memaksakan diri, mengira dirinya masih digdaya dengan ilmu masa lampaunya, mau memacu mobilnya dan mengebut di jalur politik bebas aktif.

Di panggung, industri dan syahwat politik, masih bersliweran politisi sipil yang tak mati-mati - walau bukan sebagai mayat hidup -  dan tak akan puas sampai mati. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar