dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, dapur tak
berasap vs negara tak berasap
Mengandalkan dan berbekal KTA
Parpol, seseorang bisa jadi bagian dari penyelenggara negara. Masa kerja lima
tahun diperoleh dari proses politik bisa lebih dari lima tahun. Bahkan sejak
dalam kandungan sudah ditimang dan digadang-gadang jadi generasi penerus usaha
politik keluarga. Modus operandi ini menjadi hak kaum Adam maupun kaum Hawa.
Banyak contoh nyata, yang tidak bisa diingat satu-persatu. Selalu bertambah.
Proses politik bukan proses gratis,
terima jadi. Ibarat mengail, umpan kecil ya hanya baru syarat administrasi.
Harus ada “orang dalam” yang menarik, baru proses mulus. Semua pintu harus
disidik dengan seksama, bak sebuah kesempatan yang harus berebut adu sikut, adu
mulut, adu lutut. Inilah makanya dinasti politik sebagai kiat mempertahankan
berhala Reformasi 3k (kaya, kuat, kuasa) tetap dalam jalur silsilah.
Di industri, panggung, syahwat
politik ada asas “no
free lunch” yang diterjemahbebaskan menjadi “jer basuki mawa beya”,
sudah dikuasi betul oleh kawanan parpolis Nusantara. Bahkan dipraktikkan terang
benderang oleh oknum Sekjen partai nasdem (nama dan identitas lengkap ada di
KPK).
Artinya, kawanan parpolis yang
sedang kontrak politik sebagai penyelenggara negara, jelas tidak masuk kategori
“dapur tak berasap”
utawa sesuai kiasan adalah miskin sekali. Awalnya memang ada yang “miskin
sekali”, kesempatan berikutnya menjadi kaya berkali-kali. Apalagi yang minimal
jadi pejabat partai. Kita tak perlu kotak-katik wakil rakyat yang sukses
berkarir sehingga bisa memasuki periode kedua, atau banting stir menjadi kepala
daerah.
Jika “negara tak berasap”, apakah penyelenggara
negaranya masuk kategori kiasan miskin sekali. Atau, jangan-jangan ketika
negara banyak asap, bahkan surplus asap, bahkan menjadi negara swasembada asap,
jangan-jangan, ojo-ojo, negara bangkrut.
Negara boleh bangkrut, asal
penyelenggara negara (baca : yang berasal dari kawanan parpolis) jangan
bangkrut !!! [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar