tragedi aksi blusukan seremonial
Nusantara
ini penuh keanehan, justru pelakunya adalah oknum penyelenggara negara. Sesuai
watak Jawa, ada yang nganeh-nganehi, ada yang rada/agak aneh, ada yang memang
aneh sejak lahir. Sekarang, sesuai peradaban era Reformasi, kalau tidak aneh,
dianggap tidak bekerja. Kalau tidak aneh, dicap tidak mampu tampil diri secara
berklas. Kalau tidak aneh, dikira tidak punya citra diri. Anomalinya, orang
berbuat sesuai hukum, aturan main, kesepakatan malah dianggap aneh.
Celaka bin
sial, adalah seorang kepala negara di negara multipartai, multikrisis, multi
bencana, untuk membuktikan ke juru bisiknya bahwa dia peka, peduli, tanggap
terhadap fakta di lapangan, melakukan aksi blusukan. Blusukan, atau apapun nama
lainnya, dilakukan secara seremonial. Dalam hati, merasa beda frekuensi tidak akan ada titik temunya. Kefasikan media massa memanfatkan
momentum ini. Tayangan langsung yang menampilkan sosok kepala negara apa
adanya, sampai tayangan ulang dengan berbagai bumbu perasa buatan. Media
penyiaran TV tidak tahu, pihak mana yang harus didukung, pihak mana yang harus
ditelikung. Pihak mana yang wajib dihujat, pihak mana yang wajib dijilat.
Efek domino
blusukan adalah kebijakan yang jauh panggang dari api. Skenario karya bandar
politik, usulan lisan tim sukses, tukang tadah relawan serta skenario
konspirasi sejagad menjadi lagu wajib sang kepala negara. Terbukti menyusun
anggota Kabinet Kerja kok coba-coba.
Tragedi
lebih besar, skala dunia, mengalihkan perhatian penduduk, warga negara, masyarakat,
keluarga dari tragedi nasional maupun tragedi lokal. Atau pintar-pintarnya kefasikan
media massa mengolah, mereka yasa, memanipulasi masukan ke penonton, pendengar
dan pembaca. Bisa juga awak media massa pilah-pilih liputan. Ada tregedi kecil,
pura-pura tidak tahu, Tunggu, setelah ada tragedi besar baru bergegas. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar