Halaman

Rabu, 07 Oktober 2015

tragedi aksi blusukan seremonial

tragedi aksi blusukan seremonial

Nusantara ini penuh keanehan, justru pelakunya adalah oknum penyelenggara negara. Sesuai watak Jawa, ada yang nganeh-nganehi, ada yang rada/agak aneh, ada yang memang aneh sejak lahir. Sekarang, sesuai peradaban era Reformasi, kalau tidak aneh, dianggap tidak bekerja. Kalau tidak aneh, dicap tidak mampu tampil diri secara berklas. Kalau tidak aneh, dikira tidak punya citra diri. Anomalinya, orang berbuat sesuai hukum, aturan main, kesepakatan malah dianggap aneh.

Celaka bin sial, adalah seorang kepala negara di negara multipartai, multikrisis, multi bencana, untuk membuktikan ke juru bisiknya bahwa dia peka, peduli, tanggap terhadap fakta di lapangan, melakukan aksi blusukan. Blusukan, atau apapun nama lainnya, dilakukan secara seremonial. Dalam hati, merasa beda frekuensi tidak akan ada titik temunya. Kefasikan media massa memanfatkan momentum ini. Tayangan langsung yang menampilkan sosok kepala negara apa adanya, sampai tayangan ulang dengan berbagai bumbu perasa buatan. Media penyiaran TV tidak tahu, pihak mana yang harus didukung, pihak mana yang harus ditelikung. Pihak mana yang wajib dihujat, pihak mana yang wajib dijilat.

Efek domino blusukan adalah kebijakan yang jauh panggang dari api. Skenario karya bandar politik, usulan lisan tim sukses, tukang tadah relawan serta skenario konspirasi sejagad menjadi lagu wajib sang kepala negara. Terbukti menyusun anggota Kabinet Kerja kok coba-coba.

Tragedi lebih besar, skala dunia, mengalihkan perhatian penduduk, warga negara, masyarakat, keluarga dari tragedi nasional maupun tragedi lokal. Atau pintar-pintarnya kefasikan media massa mengolah, mereka yasa, memanipulasi masukan ke penonton, pendengar dan pembaca. Bisa juga awak media massa pilah-pilih liputan. Ada tregedi kecil, pura-pura tidak tahu, Tunggu, setelah ada tragedi besar baru bergegas. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar