politik bumi hangus di balik bencana kabut asap
Konon, hasil analisis
determinan yang dilakukan oleh pihak terkait langsung tak langsung, membuktikan bahwa pemerintah RI di antara
negara-negara produsen kelapa sawit telah meningkatkan efek komposisi produk,
efek distribusi pasar, efek daya saing maupun kinerja ekspor baik Crude Palm Oil (CPO) maupun Palm Kernel Oil (PKO). Kebijakan yang
mendukung pengembangan ekspor CPO maupun PKO dengan mempertimbangkan daya saing
hilirisasi industri sawit, peningkatan kualitas CPO dan PKO yang sesuai dengan
standar negara yang menjadi tujuan ekspor utama.
Konon, Buku III Agenda
Pembangunan Wilayah, RPJMN 2015-2019, menyebutkan bahwa dari sektor pertanian terutama
perkebunan, wilayah Papua (provinsi Papua dan provinsi Papua Barat) merupakan
produsen kelapa sawit yang besar di Asia, yaitu sebesar 7,80% per tahun lebih
tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya sebesar 4,20% per tahun. Luas
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan (2010) mencapai 83% dari luas kelapa
sawit nasional. Perkebunan
kelapa sawit di wilayah Papua saat ini telah memiliki 43% dari total produksi
minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dunia sehingga Indonesia
dikenal sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Investasi kelapa
sawit dalam skala besar dapat meningkatkan pendapatan pemerintah untuk jangka
pendek tetapi akan sedikit
mempengaruhi proses hilir dan pertumbuhan sektor lain dikarenakan keterbatasan kemajuan
dan kaitannya multiplier effect sektor ini. Selain kelapa sawit,
produksi perkebunan karet di wilayah Papua secara keseluruhan cukup besar.
Konon, Pemerintah
mulai 1 Juli 2015 melakukan pungutan atas ekspor crude palm oil (CPO) dan
produk turunannya atau yang lebih dikenal CPO Supporting Fund (CSF). Sejumlah
pengusaha industri hilir kelapa sawit menyatakan keberatan atas kewajiban
tersebut, karena akan menambah pungutan pemerintah yang selama ini sudah
terlalu banyak.
"Kita mau
ekspor sawit dari hulu sampai hilir sudah kena 6 jenis kewajiban. Pertama pajak
PPN (pajak pertambahan nilai) 10%, setelah kita produksi kena lagi PPh (pajak
penghasilan) Pasal 25 kena 25%," terang Ketua Bidang Organisasi Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Topa Simatupang pada detikFinance,
Kamis (18/6/2015).
Selain itu,
pengusaha juga harus melakukan kewajiban membina petani kecil sebagai petani
plasma.
"Kita
keluarkan barang kena lagi Bea Keluar, perusahaan juga ada kewajiban harus 20%
lahan kelapa sawit untuk pembinaan petani, kita owner pas mau ambil keuntungan
juga kena lagi pajak dividen 15%," katanya.
Topa
mengungkapkan, tanpa pungutan CSF saja, setiap pengusaha eksportir kelapa sawit
sudah menanggung pajak sampai ekspor lebih dari 50%.
"Dengan
total produksi 32 juta ton. Potensi sawit ekspor kita Rp 300 triliun lebih.
Harusnya pemerintah cari kebijakan fiskal lain selain memungut bea ekspor. Saya
rasa bagus diterapkan untuk hulu. Tapi dari industri hilir saja kita sudah
serap tenaga kerja, retribusi untuk daerah, dan tentu nilai tambah CPO, jangan
dirusak yang sudah bagus," keluh Topa.
Konon, kata ahli gerakan
anti teroris, jangan tunggu munculnya teroris, jangan nanti sampai jatuh
korban, baru melakukakan tindakan dan aksi nyata. Kalau jumpa teroris di
jalanan, langsung tembak di tempat. Urusan pasal hukum, urusan belakangan.
Kalau petani mau memusnahkan kawanan tikus yang selalu pesta demokrasi di
lumbung, jangan bakar lumbungnya. Kalau aparat berhasil mengendus keberadaan teroris
disarangnya, lakukan tindakan pengepungan dan penggerebekan massal. Kalau perlu
lakukan politik bumi
hangus. Petani mencari lubang jalur evakuasi tikus di pematang sawah,
dengan pola diasapi ke dalam lubang, tikus akan keluar. Tinggal main gebuk.
Demi meningkatkan kinerja petani, pihak pemerintah kelurahan/desa menghargai
satu ekor tikus dengan sekian Rp. Hanya sebagai stimulus.
Konon, tindakan nyata
teroris internasional, konspirasi tikus internasional dalam membendung laju
ekspor CPO dan PKO dari Indonesia, adalah dengan membumihanguskan di sarangnya.
Di hulunya. Bahkan di lahan sebelum kelapa sawit sempat tunas. Sektor pertanian
mengatakan kelapa sawit sebagai sumber daya terbarukan. Alasan pohon kelapa
sawit sudah tidak produktif, dijadikan kayu bakar dan bakar di tempat. Habis
perkara dan tuntas urusan. Ibarat membasmi tikus sampai cindil-cindilnya.
Konon, pola pikir petani
lokal, yang masih akrab dengan kearifan budaya lokal, adat istiadat setempat dan
merasa bagian dari lingkungan hidup, masih menyatu dan menghargai alam. Membuka
lahan garapan, memang ada yang masih secara tradisonal, dengan main bakar. Itu
pun dengan skala kecil, sesuai kebutuhan komunitas. Dibakar untuk diolah, bukan
dibiarkan menjalar kian kemari. Mereka tidak gampang diiming-imingi Rp, tidak
mudah dibujuk rayu untuk mengkhianati lingkungannya. Mereka tidak tergiur
manisnya dolar.
Konon, petani lokal yang
sudah mengenal politik, yaitu apa artinya kekayaan, kekuasaan dan kekuatan,
bisa berubah pikiran. Apalagi kalau dibuat mabuk kenikmatan sesaat. Apalagi
jika key person,
sudah bisa dielus-elus oleh pengusaha, atau diintimidasi oleh oknum penguasa
lokal. Bisa juga yang mempertahankan hak atas tanah garapannya, yang luput dari
liputan media massa, akan mengalami dakwaan pasal berlapis.
Konon, politik bumi hangus hutan
kelapa sawit Indoensia menjadi agenda internasional. Dalam rangka persaingan dan
monopoli perdagangan dunia. Akankah wilayah Papua akan mengalami nasib sama
dengan pulau Sumatera dan pula Kalimanta. Atau karena sudah ada kontribusi karena
Timika sebagai ibukota kabupaten Mimika, Papua telah menjadi sarang beroperasinya
salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia asal Amerika Serikat, yakni
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar