Halaman

Kamis, 22 Oktober 2015

politik bumi hangus di balik bencana kabut asap

politik bumi hangus di balik bencana kabut asap

Konon, hasil analisis determinan yang dilakukan oleh pihak terkait langsung tak langsung,  membuktikan bahwa pemerintah RI di antara negara-negara produsen kelapa sawit telah meningkatkan efek komposisi produk, efek distribusi pasar, efek daya saing maupun kinerja ekspor baik Crude Palm Oil (CPO) maupun Palm Kernel Oil (PKO). Kebijakan yang mendukung pengembangan ekspor CPO maupun PKO dengan mempertimbangkan daya saing hilirisasi industri sawit, peningkatan kualitas CPO dan PKO yang sesuai dengan standar negara yang menjadi tujuan ekspor utama.

Konon, Buku III Agenda Pembangunan Wilayah, RPJMN 2015-2019, menyebutkan bahwa dari sektor pertanian terutama perkebunan, wilayah Papua (provinsi Papua dan provinsi Papua Barat) merupakan produsen kelapa sawit yang besar di Asia, yaitu sebesar 7,80% per tahun lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya sebesar 4,20% per tahun. Luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan (2010) mencapai 83% dari luas kelapa sawit nasional. Perkebunan kelapa sawit di wilayah Papua saat ini telah memiliki 43% dari total produksi minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dunia sehingga Indonesia dikenal sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Investasi kelapa sawit dalam skala besar dapat meningkatkan pendapatan pemerintah untuk jangka pendek tetapi akan sedikit mempengaruhi proses hilir dan pertumbuhan sektor lain dikarenakan keterbatasan kemajuan dan kaitannya multiplier effect sektor ini. Selain kelapa sawit, produksi perkebunan karet di wilayah Papua secara keseluruhan cukup besar.

Konon, Pemerintah mulai 1 Juli 2015 melakukan pungutan atas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya atau yang lebih dikenal CPO Supporting Fund (CSF). Sejumlah pengusaha industri hilir kelapa sawit menyatakan keberatan atas kewajiban tersebut, karena akan menambah pungutan pemerintah yang selama ini sudah terlalu banyak.

"Kita mau ekspor sawit dari hulu sampai hilir sudah kena 6 jenis kewajiban. Pertama pajak PPN (pajak pertambahan nilai) 10%, setelah kita produksi kena lagi PPh (pajak penghasilan) Pasal 25 kena 25%," terang Ketua Bidang Organisasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Topa Simatupang pada detikFinance, Kamis (18/6/2015).

Selain itu, pengusaha juga harus melakukan kewajiban membina petani kecil sebagai petani plasma.

"Kita keluarkan barang kena lagi Bea Keluar, perusahaan juga ada kewajiban harus 20% lahan kelapa sawit untuk pembinaan petani, kita owner pas mau ambil keuntungan juga kena lagi pajak dividen 15%," katanya.

Topa mengungkapkan, tanpa pungutan CSF saja, setiap pengusaha eksportir kelapa sawit sudah menanggung pajak sampai ekspor lebih dari 50%.

"Dengan total produksi 32 juta ton. Potensi sawit ekspor kita Rp 300 triliun lebih. Harusnya pemerintah cari kebijakan fiskal lain selain memungut bea ekspor. Saya rasa bagus diterapkan untuk hulu. Tapi dari industri hilir saja kita sudah serap tenaga kerja, retribusi untuk daerah, dan tentu nilai tambah CPO, jangan dirusak yang sudah bagus," keluh Topa.

Konon, kata ahli gerakan anti teroris, jangan tunggu munculnya teroris, jangan nanti sampai jatuh korban, baru melakukakan tindakan dan aksi nyata. Kalau jumpa teroris di jalanan, langsung tembak di tempat. Urusan pasal hukum, urusan belakangan. Kalau petani mau memusnahkan kawanan tikus yang selalu pesta demokrasi di lumbung, jangan bakar lumbungnya. Kalau aparat berhasil mengendus keberadaan teroris disarangnya, lakukan tindakan pengepungan dan penggerebekan massal. Kalau perlu lakukan politik bumi hangus. Petani mencari lubang jalur evakuasi tikus di pematang sawah, dengan pola diasapi ke dalam lubang, tikus akan keluar. Tinggal main gebuk. Demi meningkatkan kinerja petani, pihak pemerintah kelurahan/desa menghargai satu ekor tikus dengan sekian Rp. Hanya sebagai stimulus.

Konon, tindakan nyata teroris internasional, konspirasi tikus internasional dalam membendung laju ekspor CPO dan PKO dari Indonesia, adalah dengan membumihanguskan di sarangnya. Di hulunya. Bahkan di lahan sebelum kelapa sawit sempat tunas. Sektor pertanian mengatakan kelapa sawit sebagai sumber daya terbarukan. Alasan pohon kelapa sawit sudah tidak produktif, dijadikan kayu bakar dan bakar di tempat. Habis perkara dan tuntas urusan. Ibarat membasmi tikus sampai cindil-cindilnya.

Konon, pola pikir petani lokal, yang masih akrab dengan kearifan budaya lokal, adat istiadat setempat dan merasa bagian dari lingkungan hidup, masih menyatu dan menghargai alam. Membuka lahan garapan, memang ada yang masih secara tradisonal, dengan main bakar. Itu pun dengan skala kecil, sesuai kebutuhan komunitas. Dibakar untuk diolah, bukan dibiarkan menjalar kian kemari. Mereka tidak gampang diiming-imingi Rp, tidak mudah dibujuk rayu untuk mengkhianati lingkungannya. Mereka tidak tergiur manisnya dolar.

Konon, petani lokal yang sudah mengenal politik, yaitu apa artinya kekayaan, kekuasaan dan kekuatan, bisa berubah pikiran. Apalagi kalau dibuat mabuk kenikmatan sesaat. Apalagi jika key person, sudah bisa dielus-elus oleh pengusaha, atau diintimidasi oleh oknum penguasa lokal. Bisa juga yang mempertahankan hak atas tanah garapannya, yang luput dari liputan media massa, akan mengalami dakwaan pasal berlapis.

Konon, politik bumi hangus hutan kelapa sawit Indoensia menjadi agenda internasional. Dalam rangka persaingan dan monopoli perdagangan dunia. Akankah wilayah Papua akan mengalami nasib sama dengan pulau Sumatera dan pula Kalimanta. Atau karena sudah ada kontribusi karena Timika sebagai ibukota kabupaten Mimika, Papua telah menjadi sarang beroperasinya salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia asal Amerika Serikat, yakni Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar