Halaman

Senin, 05 Oktober 2015

prihatin perempuan Jawa dan budaya bangun pagi

prihatin perempuan Jawa dan budaya bangun pagi

Masih ingat ketika eyang puteri saya bercerita pengalaman hidupnya, beberapa tahun sebelum saya lahir, beliau menjadi orang tua tunggal. Orang tua zaman dulu, sebelum proklamasi, sebelum KB (keluarga berencana) diprogramkan oleh pemerintah, sudah familar dengan sebutan KB (keluarga besar).  Betapa eyang puteri mentuturkan rasa prihatin yang dilakoni dengan tujuan anak cucunya hidup mulia.

Olah rasa prihatin, sesuai pakem dan patron perempuan Jawa. Mulai yang bersifat umum yaitu mengurangi makan, minum dan tidur.  Sampai bagaimana cara mengabdi ke keluarga, suami dan anak. Olah rasa prihatin masyarakat Jawa sudah menjadi adat sebelum agama Islam masuk ke pulau Jawa. Sampai sekarang kearifan lokal, adat Jawa masih berjalan beriringan dengan syariat Islam.

Eyang puteri saya bangun sebelum fajar berkibar, sebelum terang tanah, sebelumayam berkokok dan burung berkicau. Tujuannya cuma satu, sibuk di dapur menyiapkan keperluan suami dan anaknya. Hiruk pikuk memasak, mencuci tak membangunkan lelap tidur suami dan anaknya. Masak pakai arang atau kayu bakar, semakin menambah semarak keprihatinan seorang isteri, seorang ibu. Saat itu mesin cuci bernama papan gilesan, menjadi andalan ibu rumah tangga. Sumur timba menjadi ciri dapur saat itu. Setrika arang yang berat dan panas menjadi lagu wajib di siang hari.

Ironis, atau bukan ironis, setelah urusan dapur selesai, baru eyang puteri menegakkan sholat subuh. Suami dibangunkan terlebih dahulu sambil berguman, ayo bangun, jangan sampai rezeki kedahuluan dipatok ayam. Anak yang sudah bersekolah dibangunkan dengan ucapan lembut.

Patut diingat pula, karena ada kandungan rejiusnya, saat eyang puteri menasihati kami cucunya, agar rukun, bagaimana sikap ke orang tua. Kami mencium bau wangi, bau yang belum kami kenal atau pernah kami cium, yang kalau dicari tidak ada sumbernya. Kata eyang putri, itu bukti bahwa eyang kakung yang tenang berada di alam lain “mengiyakan” nasihat beliau. Eyang kakung masih “bertanggung jawab mengamati” jalannya kehidupan anak keturunannya. Wallahu a’lam bish showab

Seperti kompensasi ke Illahi, sejak eyang puteri ikut anaknya secara bergantian, jika diajak makan atau kegiatan lain, selau dengan jawaban lirih : “mengko, sak uwise sholat”. Artinya “nanti, setelah sholat”. Sholat fardhu 5 waktu dikerjakan di awal waktu. Bahkan belum azan berkumandang sudah bergegas wudhu.  Ibu saya sering bilang ke saya :”wajah eyang puterimu nampak bekas wudhunya”.

Perjalan olah rasa prihatin ibu saya memang berbeda dengan ibunya atau eyang puteri saya. Bukan sekedar perkembangan zaman pasca proklamasi, namun karena ayah saya orang perantauan dari tanah Minang. Menuntut ilmu, menimba ilmu di kota pelajar. Benturan dua budaya tentu ada. Bahkan yang terkait pelaksanaan ajaran agama Islam. Karena orang tua saya semula adalah teman satu sekolahan, pengabdian seorang isteri mengalami proses perubahan bentuk. Pengorbanan awal ibu saya ketika memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Pekerjaan sebagai guru ditinggalkan total. memmastikan dan memposisikan diri sebagai pengasuh anak suami. Biar cukup bapak saja yang kerja.

Ibu saya bangun pagi, bersamaan “maling pulang kerja” guyon saat itu. Atau saat ronda malam masih aktif. Atau lampu jalanan belum mati secara otomatis. Sambil merebus air dengan kompor minyak tanah, ibu sholat subuh. Ibu menuruti selera ayah saya yang suka santapan hangat. Lauk khas Padang bikin repot ibu. Kendati ibu pernah diajari olah nenek saya cara membuat masakan Padang. Tangan ibu saya pernah kepedasan oleh cabai yang diulegnya, baru hidangan lauk Padang “lenyap” dari meja makan.

Perjalanan berbasis sesuai judul, seolah berhenti di saya. Karena saya lelaki, sebagai suami. Agar ada kelanjutan cerita dan bisa disimpulkan serta menjadi masukan bagi anak cucu keturunan, saya mencoba kilas balik ikhwal kakak perempuan saya. Sesuai gugon tuhon Jawa, kakak perempuan saya masuk bilang “sendang kapit pancuran”. Pasal ini yang mempengaruhi pembentukan karakter kami bertiga.

Saya tidak melulu urai cerita rekam jejak kakak perempuan saya. Saya sorot kondisi pasutri yang sama-sama bekerja. Karena kakak perempuan saya dan suaminya adalah sama-sama berprofesi sebagai dokter, dengan spesialisasi yang berbeda.

Zaman sekarang, ketika sudah ada profesi pemulung, riwayat lanjutan bisa ditulis. Jauh sebelum panggilan Allah bergema melalui pengeras suara masjid, pemulung sudah turun ke lapangan. Jika bak sampah di malam hari dibongkar anjing, kucing, maka sekarang giliran pemulung. Yang diambil jelas berbeda, walau menimbulkan dampak yang tidak beda jauh.

Lho, mana cerita wanita karir? Terlebih disangkutpautkan dengan budaya bangun pagi. Karena bangun pagi bagi wanita karir sudah bukan budaya, maka jangan heran mereka punya jadwal khusus dan agenda khusus. Mengapa bisa terjadi? Apakah terjadi salah kaprah.

Wanita karir mengandalkan kemandirian keluarga, khususnya kemandirian suami. Sibuk berjuang di jalanan berangkat pulang kerja, sibuk mengurangi tumpukan kerja di meja kantor, menjadikan wanita karir terjebak aturan main pasal kantor. Dampaknya nyata dalam hidup kesehariannya. Berangkat pagi antar anak sekolah, pulang malam karena tuntutan jabatan atau menghindari kemacetan. Bagi yang sudah tidak punya tanggung jawab antar anak sekolah, cerita olah rasa prihatin baru kelihatan jiwa dan perwujudannya.

Akhirnya wanita karir terbiasa bangun setelah merasa siap bangun dan merasa fit di pagi hari. Acara utama sambil bangun adalah cek berita di gadgetnya. Kalau ada acara pagi, baru bisa bangun pagi. Bangun untuk dirinya sendiri. Usai mandi, tidak terburu-buru untuk sholat subuh. Kendati tukang sayur, abang tukang roti sibuk teriak jajakan dagangannya. Setelah berbusana layak kerja, siap berangkat, baru gelar sajadah. Terbiasa dan terbentuk jika menghadap atasan atau menghadapi relasi dengan busana yang pantas, rapi dan berklas. Apalagi menghadap Allah, tidak boleh apa adanya. Harus ada persiapan, prosedur dan prosesi sebagai sistem yang harus diikuti.

Jadi pengabdian wanita karir ke keluarga, tidak bisa dibandingkan dengan bentuk pengabdian ibu rumah tangga ke keluarga. Walau memang terbukti, jika anak yang ibunya bekerja di luar rumah, anak akan menjadi mandiri, bertanggung jawab, lebih cepat dewasa, peka terhadap lingkungan, mudah bergaul dan mau berkeringat. Walau tidak seratus persen benar. Masih terdapat beberapa faktor pengaruh dan faktor penentu yang tidak bisa dianaktirikan atau diabaikan begitu saja. Demokratis tumbuh di keluarga yang orang tuanya bekerja. Ibu sebagai wanita karir bisa memanfaatkan waktu luangnya. Lepas dari fakta, waktu libur dijadikan waktu di rumah untuk istirahat. Undangan pernikahan dipilah dipilih lebih selektif.

Apalagi sekarang, karena faktor pernikahan antar suku, etnis atau ras berdampak sebutan perempuan Jawa bisa menjadi perempuan Indonesia. Tak kurang yang melestarikan silsilah perempuan Jawa, bukannya tak mau terkontaminasi. Adat dan budaya Jawa sebagai cara mudah untuk menterjemahkan ajaran agama Islam secara konkret dan nyata dalam kehidupan sehari-hari, khususnya menyangkut hubungan manusia dengan manusia. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar