Undung-Undung Ilegal
Mengundang Kerusuhan SARA
Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mengungkapkan sebanyak 24 undung-undung
peribadatan/tempat ibadah Nasrani yang dibangun secara diam-diam tanpa izin menjadi pemicu
utama kerusuhan di desa Suka Makmur, kecamatan Gunung Meriah, kabupaten Aceh Singkil, provinsi
Aceh selasa 13 Oktober 2015.
Berdasarkan perjanjian damai, Sutiyoso
mengatakan telah disepakati pendirian satu gereja dan satu undung-undung di
Aceh Singkil. Pada kenyataannya, jumlah rumah ibadah yang dibangun telah
melebihi dari yang disepakati.
Wajar jika dampak bangunan liar, seperti terjadi di ibukota negara,
meresahkan warga sekitar, mengganggu ketertiban umum serta melanggar hukum.
Membangun kandang ayam untuk usaha produktif keluarga pun harus memiliki
berbagai izin. Apalagi membangun tempat ibadah. Jangan sampai merasa karena
dana kuat, bahkan dalam skala dunia, merasa bisa bangun tempat ibadah, semacam
undung-undung, dengan mengabaikan hukum. Terlebih di provinsi Aceh sebagai
pemegang hak otonomi khusus dengan menerapkan qanun Aceh dan qanun
kabupaten/kota. Qanun yang secara historis, sejak zaman kerajaan Aceh, sudah
dikenal dan diterapkan secara nyata.
Wajar jika reaksi masyarakat atas pelanggaran hukum secara sistematis,
masif dan menerus atas aktivitas undung-undung liar, walau juga dilakukan
dengan cara melanggar hukum, namun efektif karena pemerintah setempat, pihak
berwajib setempat, aparat keamanan setempat membiarkan pembangunan undung-undung liar.
Aksi masyarakat sebagai bentuk nyata bahwa hukum dan khususnya qanun harus
dipraktikkan. Tindakan rakyat memang sebagai titik kulminasi, titik jenuh,
ambang atas toleransi dari sikap arogansi pihak pelanggar hukum yang berkedok
agama. Aksi dan tindakan rakyat Aceh yang berjiwa tidak mau menyerah atas berbagai
bentuk penjajahan dan penindasan, sekaligus sebagai koreksi atas sikap pemerintah
kabupaten Aceh Singkil. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar