Halaman

Sabtu, 03 Oktober 2015

Penyebab Lunturnya Nilai-Nilai Pancasila, Keteladanan Pejabat vs Kesederhanaan Rakyat

Penyebab Lunturnya Nilai-Nilai Pancasila, Keteladanan Pejabat vs Kesederhanaan Rakyat


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Kamis, 01 Oktober 2015, 13:47 WIB -- Tanggal 1 Oktober, merupakan hari Kesaktian Pancasila. Namun demikian, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyesalkan, lunturnya nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi negara, tidak lagi menjadi persoalan penting bangsa.

Zulkifli mengatakan, orde baru tidak semua yang diitinggalkanya jelek. Ada yang hal-hal positif yang diwariskan orde baru. Misalnya, kata dia, saat itu pembangunan karakter bangsa melalui sosialisasi Pancasila dan PPKN. Menurutnya, pendidikan moral Pancasila itu merupakan hal sangat baik.

''Tapi sekarang hilang. Bahkan orang mulai bertanya apakah masih ada Pancasila di benak warga indonesia,'' kata Zulkifli, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (1/10).

Zulkifli mengaku miris pada kondisi tersebut. Padahal, Pancasila merupakan pondasi, falsafah, serta landasan negara yang menjadi budaya perilaku sehari-hari. Seperti musyawarah mufakat, dan tidak senang saling caci maki.

''Sekarang dimana perilaku pancasila?,'' ujarnya.

Ia menjelaskan, keadilan sosial tidak lagi ada, dimana orang kaya makin kaya, rakyat miskin makin susah. Ada daerah yang maju, namun ada juga yang tertinggal. Zulkifli juga mencoba menyoal implemtasi Sila Keempat, dimana musyawarah dalam menetukan pemimpin bukan lagi menjadi kebiasaan. Begitu juga soal Persatuan, yang mesti direnungkan kembali.

''Semua sila itu dikaitkan dengan kasih sayang, intinya cinta kasih, kata kerjanya gotong royong,'' jelasnya.

Zulkifli mengeluhkan, Pancasila menjadi pandangan hidup rakyat Indoensia yang mulai menjauh. ''Karena itu ini momentum kita untuk sadarkan konsep dasar itu (empat pilar),'' tegasnya. 
- - - - - - - - - -
Menjadi rakyat, menurut pakar sejarah dan hukum, diperoleh secara otomatis. Tidak perlu dilantik, apalagi disumpah. Hanya butuh surat keterangan lahir. syarat dan rekan jejak jadi rakyat tidak runit. Makanya rakyat tidak mendapat fasilitas jaminan hidup, tidak memperoleh tunjangan jabatan sebagai rakyat, tidak kebagian kekebalan hukum.

Di industri dan syahwat politik Nusantara, rakyat sebagai warga negara papan bawah, klas cadangan dibutuhkan secara kuantitas saat pesta demokrasi lima tahun sekali. Rakyat dielus-elus agar menggunakan hak pilihnya, hanya dibutuhkan selama lima menit untuk/selama lima tahun ke depan. Bakal calon wakil rakyat, bakal calon kepala daerah sampai bakal calon kepala negara, mendadak peduli rakyat. Turun ke lapangan, blusukan ke kantong-kantong rakyat, merangkul rakyat, merebut simpati rakyat. Ujung-ujungnya agar rakyat memilihnya saat hari coblosan.

Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur sentausa, ternyata Pancasila enak didendangkan dengan semangat patriotisme. Bahkan yel-yel :"Hidup Pancasila!!", sebagai senjata kaum pengunjuk rasa suatu saat. Setia pada Pancasila dan UUD 1945 merupakan syarat utama untuk menduduki jabatan. Menurut silsilah sejarah Pancasila tak pernah lahir (cuma digali dari rakyat) tetapi sakti.


Sedemikan saktinya sehingga dijadikan asa tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Minimal lewat P4 telah menjadikan bangsa ini sadar dalam berbangsa dan bernegara. Soal bermasyarakat dan beragama itu urusan individu yang bersangkutan. Jelasnya yang masuk kategori Pancasila Phobi apalagi yang dicap Anti Pancasila akan dilibas habis tujuh turunan. Kiat ini merupakan senjata ampuh pemerintah untuk meredam aspirasi masyarakat yang menuntut keadilan dan kebenaran.

Rakyat diposisikan hanya sebagai pembeli produk parpol yang loyal, bukan sebagai pemberi order produk parpol (aspirasi hanya sebagai bunga-bunga demokrasi).

Melalui kawah Candradimuka bernama Orde Baru (Orba) akhirnya keluarlah rakyat yang kebal dan tahan banting. Kebal terhadap tekanan politik, intimidasi keamanan, pengkebirian asipirasi dan hati nurani sampai pengagamaan aliran kepercayaan. Tahan banting terhadap tatanan politik yang susah membedakan mana lawan mana musuh, terhadap tatanan ekonomi yang memakmurkan si kaya dan mengadili si miskin, terhadap tatanan sosial yang melahirkan strata multi kultur, terhadap tatanan hukum yang memraktekkan hukum rimba.

Sisi lain, lahirlah masyarakat yang kebal hukum (menjadi pion atau budak politik) dan muncullah pejabat atau oknum penyelenggara negara yang tahan banting terhadap aspirasi masyarakat. Sisa-sisa pejabat Orba yang masih melenggang dan bercokol di era Reformasi ini, masih menunjukkan kekebalannya dan daya tahan bantingnya. Bahkan parpol yang pernah merasakan dinamika politik Orba, menjelma menjadi pemakan segala.

Semangkin banyak rakyat yang menggunakan dan berbekal “akal dan logika pilitik”  didaulat menjadi wakil rakyat utawa wakil daerah, yang duduk di MPR, DPR+DPRD, dan DPD, segala permasalahan dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat malah semangkin rumit dan berkepanjangan.

Menjadi wakil rakyat, kepala daerah maupun kepala negara di pasca Reformasi cukup berat dan sarat aturan main secara politis. Salah tindak bisa ditindak, salah pilih orang bisa jadi bumerang, salah hafal bisa terjerat pasal, salah kata bisa menjadi fakta, salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak hanya pada prasyarat, tetapi juga khususnya pada waktu menerima amanah sebagai wakil/pemimpin rakyat. Konflik internal parpol malah membuktikan bagaimana urusan dapurnya.

Sedikit-sedikit unjuk rasa dan unjuk raga, adu otot, baku mulut, dan pamer bego. Selama 2009-2014 memang sebagai puncak kebrutalan kawanan parpolis. Walau kebagian kursi dalam Pemilu 2009, banyak parpol yang tak lilo legowo. Nafsu serakah melandasan kerja para kader parpol. Parpol pemenang kedua di pilpres 2004 dan 2009 memposisikan dirinya menjadi oposan banci, oposan setengah hati.

Celakanya, berbagai unjuk raga dan sambung suara bisa dipolitisir oleh penguasa negara atau dijadikan komoditas politik dengan mengatasnamakan rakyat yang biasa dilakukan oleh oknum yang ambisius. Sejarah mencatat pula bahwa geliat rakyat, dari arah tak terduga, bisa membakar jenggot para penguasa negara. Kendati sudah ada rumusan demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, akan tetap kalah kuat dan kuasa dibanding jargon-jargon pemegang penyelenggara kedaulatan rakyat.

PR besar di era Reformasi kini adalah suara rakyat yang selama Orde Baru terbekap dan terbungkam secara sistematis belum diposisikan secara benar dan wajar. Wakil rakyat hanya menyuarakan kepentingan partai, itupun atas dasar titipan dan pesanan. Dari sisi rakyat sendiri memang terjadi pengkotak-kotakan. Ada yang bisa potong kompas untuk "bersuara", misal sebagai bahan kampanye atau beberapa kasus ganti untung atas pembebasan tanah milik rakyat demi bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Nasib yang tak berubah dimiliki rakyat yang petani, dari masalah pemilikan tanah dan hak garap, irigasi, pupuk, bibit, pola tanam masih tetap menjebak mereka dalam lumpur kemiskinan.

Walau Nusantara tak lepas dari status multikrisis, multibencana, jangankan bertaubat, malah banyak anak bangsa yang saling menyalahkan, saling menghujat. Paling gampang dikambinghitamkan adalah pemerintah (Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Para penyalah mulai dari rakyat yang buta politik sampai mantan RI-1. Ironis bin drastis! Hujatan dikemas dalam pemberitaan TV secara sensasional, berkala dan taraktif untuk menaikkan peringkat TV swasta. Kefasikan media massa semakin menyuburkan duka nestapa bangsa dan negara.

Konon, rakyat semakin bingung bin linglung, karena tidak ahli menyalahkan, kurang mahir mencari kambing hitam, belum punya sertifikat untuk tunjuk hidung siapa pelakunya. Rakyat jadi korban “ketahanan pangan”. Walau perut rakyat kebal lapar, kebal cuma makan sekali sehari, kebal asupan gizi di bawah standar nasional.  Bukan berarti perut rakyat kebal bagaikan tabung reaksi. Untuk perut rakyat, pemerintah tega coba-coba, apapun dalih dan alasan ilmiahnya. Perut rakyat diteror dengan asupan tidak manusawi. Wakil rakyat yang terhormat, merasa ini bukan ursannya, hanya berpangku tangan. Pura-pura kaget.

Di jalanan, demokrasi berjalan bebas berbasis manusia bebas, melahirkan free man. Preman. Banyak kejadian di jalanan yang mengilhami penguasa negara, sbagai sumber inspirasi penyelenggara negara. Celakanya banyak rakyat, atau pihak yang gemar mengatasnamakan rakyat, yang pandai, lihai dan nampak cerdas menghujat para pemimpin bangsa. Tetapi mereka tak pernah bercermin, bagaimana caranya menjadi rakyat bermartabat, bagaimana memposisikan dan menjatidirikan  sebagai rakyat berdaulat.

UUD NKRI 1945 mengalami penyesuaian diri. Kepentingan skenario politik jangka panjang maupun sesaat diakomodir dalam pasal perubahan. Secara konstitusional, sejarah masa depan bangsa dan negara bisa direkayasa sejak dini. Atas kehendak rakyat, entah atas ide siapa, entah inisiatif pihak mana, akhirnya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
- - - - - - - - - -
Akhir kata, walau bukan kata terakir. Bukankan di periode 2014-2019 sebagai ajang pembuktian bahwa parpol pemenang pesta demokrasi 2014, ternyata tidak siap menang. Hanya merasa negara sebagai warisan. Olah pokal bandar politik dilengkapi dengan sepak terjang relawan, tim sukses, bolo dupak maupun penggembira berbasis politik transaksional, berbasis ideologi Rp, mejadikan kegaduhan secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Betapa Jokowi hanya dipandang sebagai kurir parpol, sedangkan bandar politik mendaulat dirinya sebagai presiden senior. Sambil duduk manis main tuding dan siap jual tangis. Restunya bisa menentukan siapa yang layak secara politis diangkat jadi pejabat atau bagian dari penyelenggara negara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar