Halaman

Selasa, 18 Februari 2020

di atas kursi masih ada kursi


di atas kursi masih ada kursi

Di  kolong langit, di atas hamparan nusantara. Analog keterbalikan 180 derajat. Di balik amanat rakyat, seperti ada peluang, kesempatan pihak terpercaya untuk ambil sikap tindak bebas. Bisnis politik menjadikan pihak pembeli kepercayaan, merasa berhak menentukan nasib bangsa.

Melihat subur hijaunya tanah air ibu Pertiwi. Mentahnya saja sudah lipat untung. Lipatam kulit bumi bernilai finansial fantastis. Apalagi kalau diciduk, dikeduk, dikeruk lapisan demi lapisan. 7 turunan keceh duit. Sejarah yang akan bicara. Aksi jarah nasional diilhami kongsi VOC lanjut pemerintah Belanda memindahkan kekayaan nusantara ke negerinya.

Tata negara, tata pemerintahan atau istilah bahasa hukum sejenis. Melahirkan strata, kasta abdi negara, aparatur pemerintah, hamba hukum, alat negara. Birokrasi nusantara menjadi gado-gado. Sistem karir kalah pamor dengan jabatan publik yang menjadi hak milik manusia politik.

Eselonisasi camat dan lurah yang punya wilayah administrasi operasional formal.  Jabatan di atas camat, semisal walikota menjadi jabatan politik. Sampai kursi gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Pasal kepuasan tak berlaku pada RI-2. Karena ‘wapres bekerja di bawah permukaan’. Kinerjanya tak terukur. Bukan sekedar ban serep. Salah langkah, laju malah patut diduga ambisi menjadi matahari kembar. Pemikiran atau komen wapres sudah digormat sesuai RPJMN 2020-2024. Tidak bisa improvisasi bebas. Pilih aman pakai model pukul gong doang. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar