di atas kursi masih ada kursi
Di kolong langit,
di atas hamparan nusantara. Analog keterbalikan 180 derajat. Di balik amanat
rakyat, seperti ada peluang, kesempatan pihak terpercaya untuk ambil sikap tindak
bebas. Bisnis politik menjadikan pihak pembeli kepercayaan, merasa berhak
menentukan nasib bangsa.
Melihat subur hijaunya tanah air ibu Pertiwi. Mentahnya saja
sudah lipat untung. Lipatam kulit bumi bernilai finansial fantastis. Apalagi kalau
diciduk, dikeduk, dikeruk lapisan demi lapisan. 7 turunan keceh duit. Sejarah
yang akan bicara. Aksi jarah nasional diilhami kongsi VOC lanjut pemerintah
Belanda memindahkan kekayaan nusantara ke negerinya.
Tata negara, tata pemerintahan atau istilah bahasa hukum
sejenis. Melahirkan strata, kasta abdi negara, aparatur pemerintah, hamba
hukum, alat negara. Birokrasi nusantara menjadi gado-gado. Sistem karir kalah
pamor dengan jabatan publik yang menjadi hak milik manusia politik.
Eselonisasi camat dan lurah yang punya wilayah administrasi
operasional formal. Jabatan di atas
camat, semisal walikota menjadi jabatan politik. Sampai kursi gubernur sebagai
perpanjangan tangan pemerintah.
Pasal kepuasan tak berlaku pada RI-2. Karena ‘wapres
bekerja di bawah permukaan’. Kinerjanya tak terukur. Bukan sekedar ban serep. Salah
langkah, laju malah patut diduga ambisi menjadi matahari kembar. Pemikiran atau
komen wapres sudah digormat sesuai RPJMN 2020-2024. Tidak bisa improvisasi
bebas. Pilih aman pakai model pukul gong doang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar