ketika tukang parkir dititipi kursi
Jabatan, profesi, mata pencarian, pekerjaan ‘tukang
parkir’ bisa menjadi cita-cita atau karena tidak ada pilihan lain. Bukan kasus,
jika menjadi profesi turun-temurun. Penguasaan lahan parkir diwariskan ke anak
cucu. Lokasi potensial bisa dikelola semua pihak berkepentingan.
Usaha jasa titipan mobil, motor dan kendaraan lain. Pakai
kalkulasi untung atau sebagai sumber dana jam-jaman. Kebijakan pemerintah
daerah mengurus urusan jasa penitipan masuk sistem APBD. Panjang jalan masih
kalah laju dengan pertambahan otomotif. Kantong parkir resmi, semi resmi, liar
menjadi obyek bagi hasil.
Parkir bongkar-muat barang, terbuka 24 jam, bisa menjadi
ajang tawuran antar geng, adu nyali antar kawanan yang merasa sebagai pihak
bikin aman. Lelang penguasaan agar tak terjadi konflik. Atau pakai modus main
beking, pakai deking. Atau sistem gilir waktu. Banyak praktik yang tak
terungkap awak media. Atau sebagai praktik dan lagu wajib bernegara secara
praktis.
Kualifkasi, klasifikasi ‘tukang parkir’, secara filofofis
bisa menjadi panutan, rujukan, acuan.
Ada yang sekedar menjaga amanah atas barang yang
dititipkan. Sampai memanfaatkan lahan parkir. Runyam lagi, memanfaatkan pihak
yang sedang macam ‘bongkar-muat’. Analog bagi pihak yang ‘dititipi’ kursi.
Belum ada kajian resmi, survei tanpa survei, jajak
pendapat, asumsi historis tentang bagaimana perilaku pihak yang sedang ‘dititipi’
kursi. Saking bergengsinya sampai perlu kontrak politik. Kepuasan 100 hari pertama
menjadi barometer, indikator,
tolok ukur. Namanya politik, bukan pada aspek benar, betul, baik, bagus. Malah yang
sebaliknya menjadi dasar tindak dan kebijakan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar