Halaman

Rabu, 19 Februari 2020

ketika tukang parkir dititipi kursi


ketika tukang parkir dititipi kursi

Jabatan, profesi, mata pencarian, pekerjaan ‘tukang parkir’ bisa menjadi cita-cita atau karena tidak ada pilihan lain. Bukan kasus, jika menjadi profesi turun-temurun. Penguasaan lahan parkir diwariskan ke anak cucu. Lokasi potensial bisa dikelola semua pihak berkepentingan.

Usaha jasa titipan mobil, motor dan kendaraan lain. Pakai kalkulasi untung atau sebagai sumber dana jam-jaman. Kebijakan pemerintah daerah mengurus urusan jasa penitipan masuk sistem APBD. Panjang jalan masih kalah laju dengan pertambahan otomotif. Kantong parkir resmi, semi resmi, liar menjadi obyek bagi hasil.

Parkir bongkar-muat barang, terbuka 24 jam, bisa menjadi ajang tawuran antar geng, adu nyali antar kawanan yang merasa sebagai pihak bikin aman. Lelang penguasaan agar tak terjadi konflik. Atau pakai modus main beking, pakai deking. Atau sistem gilir waktu. Banyak praktik yang tak terungkap awak media. Atau sebagai praktik dan lagu wajib bernegara secara praktis.

Kualifkasi, klasifikasi ‘tukang parkir’, secara filofofis bisa menjadi panutan, rujukan, acuan. 

Ada yang sekedar menjaga amanah atas barang yang dititipkan. Sampai memanfaatkan lahan parkir. Runyam lagi, memanfaatkan pihak yang sedang macam ‘bongkar-muat’. Analog bagi pihak yang ‘dititipi’ kursi.

Belum ada kajian resmi, survei tanpa survei, jajak pendapat, asumsi historis tentang bagaimana perilaku pihak yang sedang ‘dititipi’ kursi. Saking bergengsinya sampai perlu kontrak politik. Kepuasan 100 hari pertama menjadi barometer, indikator, tolok ukur. Namanya politik, bukan pada aspek benar, betul, baik, bagus. Malah yang sebaliknya menjadi dasar tindak dan kebijakan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar