Halaman

Minggu, 16 Februari 2020

Tingkatkan Kapasitas Diri Dengan Pahitnya Kehidupan

Tingkatkan Kapasitas Diri Dengan Pahitnya Kehidupan

Wajar jika kita sibuk menikmati musim bahagia, waktu terasa cepat berlalu. Maunya sepanjang hidup. Paling runyam, tanpa pratanda terjadi pergantian musim sebaliknya. Sehari terasa bak setahun. Keluh kesah menjadi nenu harian.

Kehidupan yang sedang kita lakoni, merupakan hasil keringat dan warisan leluhur. Tugas kita tinggal melanjutkan. Beda halnya dengan anak bangsa yang merintis kehidupan mulai dari nol. Merangkak dari papan bawah. Bahkan start dari garis minus. Justru daya juang ini membuat mereka tahan banting. Tahu hakikat kehidupan.

Berlaga di panggung dunia yang sama. Bisa terjadi berlaku pasal hukum rimba. Siapa kuat yang akan tetap bertahan hidup. Terjadi seleksi alam. Pihak “yang lemah” mudah menyerah atau tak betah berlama-lama. Terpinggirkan secara sistematis. Atau hanya jadi penonton.

Persaingan hidup tidak hanya terjadi di dunia luar. Sejak dalam kehidupan keluarga, anak dibekali daya saing. Urutan kelahiran seolah menentukan karakater. Jangankan pisang setandan, satu sisir pun matangnya beda. Ada saja masalah bawaan, dari sono-nya. Faktor weton (tahun, bulan, hari kelahiran), urutan anak kandung, gender seolah menentukan daftar urutan nasib. Garis tangan bisa bicara lain. Tak sesuai bakat warisan.

Tak jarang, anak yang hidup di bawah bayang-bayang orang tuanya, berlindung di balik nama besar orang tuanya, malah tak jadi orang.

Bisa saja mengandalkan babat, bobot, bibit, bebet. Tidak bisa netral. Faktor penentu nasib bersifat dinamis, atraktif. Sejalan dengan fitrah asah, asih, asuh yang menjadi kewajiban dasar orangtua. Pepatah atau sebutan lain, kian memantapkan fakta yang akan terjadi, mewarnai interaksi anak – orangtua atau dalam suatu sistem keluarga. Teruji bisa membentuk dinasti, wangsa.

Analog dengan keluarga yang mulai dari nol. Pribadi yang tahu siapa dirinya, paham “aku ini siapa”. Melihat realita kehidupan lebih jujur. Bahkan memposisikan dirinya “bukan siapa-siapa”. Warisan ilmu dan nama baik orang tua, menjadi motivasi untuk tetap eksis.

Ketika hidup terasa tak seperti yang diangankan. Belajar dari sejarah keluarga. Orang tua yang hidup mulai dari nol, bisa eksis. Dirinya, yang mungkin dengan gelar akademisnya, mosok kalah greget.  Ujian kehidupan sesuai kapasitas diri. Kian menanjak, ujian kian tak sederhana.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar