Halaman

Rabu, 26 Februari 2020

aspek politis menjadikan presiden kebal hukum


aspek politis menjadikan presiden kebal hukum

Berkat daya juang manusia politik, maka terjadilah 4x Perubahan UUD NRI 1945, 1999-2001. Masih akan berlanjut dengan Perubahan Kelima. Tunggu hari baik. Rasanya, jarang anak bangsa yang ahli tulis bebas di media sosial segala aplikasi untuk mengkritisi Perubahan. Tahunya, kultus individu, loyalis total. Pejah gesang ndérék panguwasa.

Kembali ke jalur lurus. Perubahan Ketiga, dengan hasil antara lain berupa:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Namanya bahasa hukum tapi dalam koordinasi, komunikasi, kendali bahasa politik. Substansi, materi pasal yang tersirat silahkan pakai logika masing-masing.

Sisi lain, yang tersirat dari Pasal 7A adalah bahwasanya Presiden (baik selaku kepala negara, maupun kepala pemerintahan) tidak bisa diturunkan di tengah jalan sebelum jatuh tempo hanya karena aspek politis (salah ketik, salah kutip atau kesalahan administrasi atas penetapan kebijakan).

Bahasa kerennya, presiden kebal pasal pemakzulan (impeachment) versi negara manapun. Negara maju, modern membahasakan impeachment hanya sebatas sinyalemen positif bahwa presiden secara sadar telah melakukan pelanggaran hukum. Aturan main secara konstitusional versi NKRI, tanya ke ahli hukum.

Terlebih adanya pasal “negara Indonesia adalah negara hukum” [Pasal 1, ayat (3)] baru disuratkan akibat Perubahan Ketiga UUD NRI 1945.

Kembali ke judul olahkata “keadaan daya paksa vs keadaan kahar”. Agar supaya semoga tak setengah hati menyimak. Fokus simak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pada:
Pasal 48
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Stigma presiden selaku ‘petugas partai’ kian membuktikan di atas kursi masih ada kursi.

Bukan salah bunda mengandung jika pasal kepuasan tak berlaku pada RI-2. Karena ‘wapres bekerja di bawah permukaan’. Kinerjanya tak terukur. Bukan sekedar ban serep. Tapi juga bukan dwitunggal, duet maut, pasangan ganda gado-gado. Salah langkah, mblandang sendiri malah patut diduga ambisi menjadi matahari kembar. Gagasan atau komen wapres sudah diformat sesuai RPJMN 2020-2024. Tidak bisa improvisasi bebas. Pilih aman pakai model pukul gong doang. Atau atas nama presiden. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar