aspek politis menjadikan presiden
kebal hukum
Berkat daya juang manusia politik, maka terjadilah 4x
Perubahan UUD NRI 1945, 1999-2001. Masih akan berlanjut dengan Perubahan
Kelima. Tunggu hari baik. Rasanya, jarang anak bangsa yang ahli tulis bebas di
media sosial segala aplikasi untuk mengkritisi Perubahan. Tahunya, kultus
individu, loyalis total. Pejah gesang ndérék panguwasa.
Kembali ke jalur lurus. Perubahan Ketiga, dengan hasil
antara lain berupa:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namanya bahasa hukum tapi dalam koordinasi, komunikasi,
kendali bahasa politik. Substansi, materi pasal yang tersirat silahkan pakai
logika masing-masing.
Sisi lain, yang tersirat dari Pasal 7A adalah bahwasanya
Presiden (baik selaku kepala negara, maupun kepala pemerintahan) tidak bisa diturunkan
di tengah jalan sebelum jatuh tempo hanya karena aspek politis (salah ketik,
salah kutip atau kesalahan administrasi atas penetapan kebijakan).
Bahasa kerennya, presiden kebal pasal pemakzulan (impeachment)
versi negara manapun. Negara maju, modern membahasakan impeachment hanya
sebatas sinyalemen positif bahwa presiden secara sadar telah melakukan
pelanggaran hukum. Aturan main secara konstitusional versi NKRI, tanya ke ahli
hukum.
Terlebih adanya pasal “negara Indonesia adalah negara
hukum” [Pasal 1, ayat (3)] baru disuratkan akibat Perubahan Ketiga UUD NRI
1945.
Kembali ke judul olahkata “keadaan daya paksa vs keadaan
kahar”. Agar supaya semoga tak setengah hati menyimak. Fokus simak Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pada:
Pasal 48
Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Stigma presiden selaku ‘petugas partai’ kian membuktikan
di atas kursi masih ada kursi.
Bukan salah bunda mengandung jika pasal kepuasan
tak berlaku pada RI-2. Karena ‘wapres bekerja di bawah permukaan’. Kinerjanya
tak terukur. Bukan sekedar ban serep. Tapi juga bukan dwitunggal, duet maut,
pasangan ganda gado-gado. Salah langkah, mblandang sendiri malah patut diduga ambisi
menjadi matahari kembar. Gagasan atau komen wapres sudah diformat sesuai RPJMN
2020-2024. Tidak bisa improvisasi bebas. Pilih aman pakai model pukul gong
doang. Atau atas nama presiden. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar