Halaman

Jumat, 11 Juli 2014

Revitalisasi Syahwat Politik Pasca Pilpres 2014


Nasib bangsa dan negara Indonesia lima tahun ke depan ditentukan oleh  pesta demokrasi. Energi dan emosi rakyat Indonesia diaduk-aduk siang malam menyimak prosesi hajat nasional, khususnya pemilihan presiden (pilpres) Rabu 9 Juli 2014. Pemberitaan di frekuensi publik sebagai ajang sekaligus katalisator adu otak antara 2 kandidat pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), serta palagan adu otot tim pemenang, relawan kedua kandidat.

Budaya sebagai bangsa timur yang ramah, santun dan berbasis budi pekerti, terkelupas dan nyaris terkikis sampai ke lapis watak tertentu. Lebih barbar dari bonek. Kesetiaan kawanan loyalis, followers maupun yang pasang badan bersifat komersial, musiman atau transaksional. Yang bikin kita tak habis pikir, ternyata ada oknum capres menghujat pesaingnya saat kampanye. “Jokowi Sebut Di Kubu Sebelah Ada Mafia Sapi, Mafia Haji, dan Mafia Minyak” (sumber : laman Republika.co.id Wednesday, 02 July 2014, 19:36 WIB)

Dua periode (2004-2009 dan 2009-2014) atau satu dekade RI-1 ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono, bukannya tak bawa dampak pada perilaku politik anak bangsa, bukannya tak bawa ekses bak efek domino, bukannya tak berimbas pada tatanan hidup bebangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sistem hukum di Indonesia tidak membuka pintu dan memberi peluang agar alih kepemimpinan nasional tidak harus melalui kendaraan partai politik (parpol). semangat otonomi daerah, seolah provinsi atau kabupaten/kota menjadi hak milik parpol tertentu. Industri politik menjadikan wakil rakyat semakin jauh dari asas pro-rakyat.

Justru, perlunya revitalisasi atau sebutan lain, karena kita yakin bahwa acara, adegan dan atraksi yang ditayangkan penyiaran televisi tidak mewakili kondisi yang faktual dan aktual di lapangan. Benang merah perlunya revolusi mental karena pekerja politik sudah menghalalkan segala cara. Kiprah dan kinerja pekerja politik bukan karena melaksanakan visi dan misi parpol. 2 aspek utama menjadi fokus dan subyek revitalisasi :

Pertama, pembaharuan jiwa. Walau tak dirasakan, syahwat politik menjadikan manusia dikendalikan oleh nafsunya. Akal pikiran, logika dan nalarnya kerasukan nafsu, ucapan sebagai pancaran nafsu, tindakan, tingkah laku dan perbuatannya sebagai perwujudan nafsu. Kalkulasi politik tak mengenal kata kalah. Jika kalah, tak ayal akan mendaulat dirinya sebagai hamba nafsu.

Dominasi nafsu dalam kehidupan manusia, tersurat dalam Al-Qur’an [QS Al Jaatsiyah (45) : 23] :  Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya*) dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?,”
*) Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.

Jiwa politik kawanan loyalis, terutama yang modal dengkul dan modal mulut, ditentukan oleh asas sama rasa, sama rata. Dampak mengkonsumsi obat kuat atau obat penenang politik di luar daya nalar tubuh. Berharap pada parpol sudah bukan zamannya. Pemilih lebih melihat figur capres dan cawapres. Mungkin saja mereka tumbuh bak rumput liar. Semangat loyalis secara tak langsung membuktikan merebaknya krisis jiwa politik.

Dalam suatu keluarga, beda pilihan, beda selera politik, bisa menjadi konflik internal. Dalam suatu lingkungan tempat tinggal, konflik horizontal bisa dipacu dan dipicu oleh beda warna politik. Sejarah Orde Baru berulang lebih sistematis, transparan dan terukur, yaitu menggiring pemilih. Calon pemilih yang rawan, rentan dan riskan terhadap Rp, mudah dikendalikan. Calon pemilih yang rakus Rupiah berdalih NPWP (nomer piro wani piro) akan dikenai peribahasa “habis manis sepah dibuang”.

Kedua, reposisi niat. Hasrat untuk menjadi pemimpin atau peduli pada rakyat, bisa dimulai dari mana saja. Kita jangan bermain-main dengan niat. Niat memiliki kedudukan dan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam beribadah. Kadar niat bisa sebagai setengah usaha. Memantapkan niat diwujudkan dengan ikhtiar secara total. Kita wajib niat dan ikhtiar, karena soal hasil menjadi hak prerogratif Allah.

Pengaruh industri politik menjadikan niat berlapis, atau disesuaikan dengan kebutuhan. Niat politik ditentukan kalkulasi nikmat duniawi dan lebih nyata serta rinci ketimbang niat karena Allah. Pendapat umat Islam terjun ke parpol sambil dakwah, tidak ada salahnya. Organisasi kemasyarakatan Islam yang bersinggungan dengan politik, dengan sadar mencampuradukan yang haq dengan yang batil. Dukungan formal terhadap capres tertentu, malah membuktikan adanya agenda transaksional terselubung.

Sukses secara politis tidak ada tolok ukur baku. Menyandang jabatan sebagai wakil rakyat, menduduki kursi kepala daerah apalagi kepala negara, seolah bukan buah perjuangan, masih ada target dan sasaran berikut. Menjadi penguni lembaga pemasyarakatan bukan sebagai pengorbanan, tetapi lebih merasa dikorbankan.

Setelah ketahuan “siapa melawan siapa”, sampai pilpres 2019, mau tak mau rakyat harus pandai-pandai menempatkan diri dan membawakan diri [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar