Halaman

Selasa, 08 November 2016

Islam Nusantara, Islam Tradisional, Islam apa lagi mbah . . .



Islam Nusantara, Islam Tradisional, Islam apa lagi mbah . . .

Akhir tausyiah di rumak duka, pemilik rumah yang pensiunan BUMN, mengeluh kepada sang ustad. “Ustad, ayah saya tidak jarang atau tidak mau sholat. Kalau kami anak-anak mengingatkan, ayah kami hanya menjawab : “Prihatinku iki ngeluwihi wong sholat”. Tetangga yang pensiunan usainya saja sudah berkepala tujuh, berapa usia ayahnya.

Sebagai orang Jawa, ditengarai namanya berskhiran huruf hidup ‘o’, tentu tak bisa melepaskan diri dari adat istiadat, budaya lingkungannya, lingkungan masyarakat Jawa. Tempat tinggal dengan rimah model Jawa sampai tanaman khas atau yang boleh dimiliki rakyat, kawula alit.

Banya orang sukses karena keprihatinan orang tuanya. Mereka mengurangi makan, minum dan tidur. Bentuk rasa prihatin kalau dijabarkan bisa jadi bahan disertasi. Bagaimana wong Jawa menerapkan ajaran dan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, tak perlu diperdebatkan. Apalagi campur tangan pemerintah dan negara.

Yang perlu kita prihatinkan, ada sebutan Islam Nusantara. Karena unsur atau komponen kejawen, tidak serta merta menerima ajaran dan agama Islam seutuhnya. Bahkan karya tulis para pujangga, empu atau sebutan lainnya, khususnya yang fokus pada sejarah dan ramalan masa depan, pada hakikatnya ingin menyusupkan anti keislaman. Bahasa berbingkai, karya sastra adiluhung yang perlu apresasi tingkat tinggi untuk mencerna, memahami dan menyelaminya. Saya tidak tahu, bahkan ada tokoh legendaris dengan produk multidimensinya mampu menembus waktu dan tempat di jagat raya.

Menyambut tahun baru Islam dengan berbagai gelar acara, melaksanakan ritual di tempat tertentu, tidak bisa kita salahkan kawan. Di sisi lain, budaya Arab yang selama ini kita anggap budaya Islam kita usung ke tanah air. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar