Islam
Nusantara, Islam Tradisional, Islam apa lagi mbah . . .
Akhir tausyiah di rumak duka, pemilik rumah yang
pensiunan BUMN, mengeluh kepada sang ustad. “Ustad, ayah saya tidak jarang atau
tidak mau sholat. Kalau kami anak-anak mengingatkan, ayah kami hanya menjawab :
“Prihatinku iki ngeluwihi wong sholat”.
Tetangga yang pensiunan usainya saja sudah berkepala tujuh, berapa usia
ayahnya.
Sebagai orang Jawa, ditengarai namanya berskhiran
huruf hidup ‘o’, tentu tak bisa
melepaskan diri dari adat istiadat, budaya lingkungannya, lingkungan masyarakat
Jawa. Tempat tinggal dengan rimah model Jawa sampai tanaman khas atau yang
boleh dimiliki rakyat, kawula alit.
Banya orang sukses karena keprihatinan orang
tuanya. Mereka mengurangi makan, minum dan tidur. Bentuk rasa prihatin kalau
dijabarkan bisa jadi bahan disertasi. Bagaimana wong Jawa menerapkan ajaran dan
agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, tak perlu diperdebatkan. Apalagi campur
tangan pemerintah dan negara.
Yang perlu kita prihatinkan, ada sebutan Islam
Nusantara. Karena unsur atau komponen kejawen, tidak serta merta menerima
ajaran dan agama Islam seutuhnya. Bahkan karya tulis para pujangga, empu atau
sebutan lainnya, khususnya yang fokus pada sejarah dan ramalan masa depan, pada
hakikatnya ingin menyusupkan anti keislaman. Bahasa berbingkai, karya sastra
adiluhung yang perlu apresasi tingkat tinggi untuk mencerna, memahami dan
menyelaminya. Saya tidak tahu, bahkan ada tokoh legendaris dengan produk
multidimensinya mampu menembus waktu dan tempat di jagat raya.
Menyambut tahun baru Islam dengan berbagai gelar
acara, melaksanakan ritual di tempat tertentu, tidak bisa kita salahkan kawan. Di
sisi lain, budaya Arab yang selama ini kita anggap budaya Islam kita usung ke
tanah air. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar