mengedit skenario makar versi
pemerintah
Kejadiannya sekitar tahun 60-an. Atau sebelum peristiwa makar, kudeta PKI
30 September 1965, saya agak lupa.yang tidak lupa. Pokoknya saat itu TV belum
masuk Yogya, atau sudah masuk, tetapi TV masih langka. Di alun-alun utara
Yogyakarta, yang merupakan halaman luar kraton kesultanan Yogyakarta, dibangun
bangunan sementara. Bahannya serba bambu. Bangunan sebagai pentas wayang orang
(WO) Bharata (?).
Pariwara tentang acara WO bisa didengar melalui radio, berita RRI Nusantara
II Yogyakarta. Banyak lakon yang populer di mata masyarakat Yogya yang minim
hiburan dan tontonan. Pagelaran WO, kalau tidak salah rekam, ada yang
pagi/siang atau malam hari. Harga karcis tentu tidak sama di setiap
pertunjukkan.
Kalau lakonnya banyak penontonnya, animo warga Yogya dan sekitarnya diluar
dugaan, mau tak mau, lakon akan digelar ulang. Ayah saya yang Minang perantau,
yang kesehariannya hanya berbahasa Indonesia, apalagi di rumah, mengajak kami
nonton WO. Alasannya klasik, ingin keluar bareng anak isteri.
2 becak kayuh mengantar kami ke TKP (tempat kejadian pertunjukkan).
Terpengaruh iklan di radio, atau mengikuti kata orang di tempat ayah saya
mengajar bahasa dan sastra Indonesia, ayah pilih lakon “Srikandi Ngédan”. Ngédan, bahasa Jawa, yang maknanya adalah pura-pura gila.
Tokoh Srikandi dalam pemerintah kerajaan Amartapura, tidak bisa dianggap
enteng. Bukan sekedar karena sebagai salah satu isteri penengah Pendawa Lima. Dalam
catatan sejarah Kemenpora, Srikandi merupakan andalan di cabang olahraga
memanah. Soal siapa yang lebih unggul memanah, antara Srikandi dengan Arjuna
sang suami, belum pernah diikutsertakan dalam PON.
Istilah ‘srikandi’ tidak hanya diterapkan pada allit wanita pemanah, tetapi
juga pada perajurit wanita.
Kenapa Srikandi menjadi Ngédan? Apakah versi Jawa, versi dari
negara asalnya. Karena bahasa Jawa yang dipakai selama pertunjukkan, jalannya
pentas jadi enak di dengar sekaligus nyaman di tonton. Penonton dengan harga
karcis termurah, cukup puas duduk di bangku dari batang bamboo, tanpa sandaran.
Ada istilah khusus, untung saya tidak ingat.
Menjawab kenapa, mengapa, ada apa koq sampai Srikandi Ngédan? Kalau diterapkan di zaman sekarang, banyak jawaban
yang bertebaran di masyarakat. Tinggal pilih mana yang kita suka. Ditarik ke
belakang, apakah zaman sekarang ini pemerintah sedang Ngédan? Kan pemerintah tidak di tangan keluarga besar, macam
Pendawa Lima. Jangan lihat de facto-nya.
Ataukah ada gonjang-ganjing, kemelut politik di negara Amarta. Jangan lupa,
setiap anggota Pendawa Lima setelah anak sulung, kata ki dalang Sobopawon,
mereka punya kerajaan sendiri. Jadi tidak mungkin mau makar,kudeta penguasa
tunggal negara Amartapura.
Ataukah hawa politik di negara Amartapura sudah sampai kondisi kurang nyaman,
tidak aman. Suasana gerah binti resah menyelimuti para penylenggara negara. Apakah
karena sang raja melihat ketua wakil hamba sahaya, bukan dari konco dhéwé.
Atau jangan-jangan, kata hati ki dalang Sobopawon, ada intrik politik dalam
negeri, agar Bharatayudha diajukan. Skenario dewa di khayangan bisa diubah
sesuai kebijakan partai. Namanya politik. Politik menjadikan orang serakah. Mulai
serakah ingin jabatan, serakah ingin mempertahankan jabatan secara legal, sah
yuridis formal, konstitusional.
Ujar sehat ki dalang Sobopawon :”Srikandi tetap Srikandi. Walau lakon
direkayasa menjadi Limbuk Ngamuk.” Utawa
lakon kisah iri dengki Betari Durga.
Akhir cerita, ki dalang Sobopawon malah nyanyi : “copot eh copot.”
“Eehh, copoot tu . . .”. Karena ada ban serep ngglundung ora ketulungan, tanpa
lakon sing nggenah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar