semangat
(hari) pahlawan 2016, pejuang politik tanpa NYATA (nyali, taji, ambisi)
Kawanan parpolis Nusantara lebih dominan bertindak
dan berucap, ketimbang membuat konsep pilitik yang bermanfaat bagi bangsa dan
negara. Liputan, tayangan media massa berbayar menambah semangat oknum pejuang
politik untuk tampil diri. Sayang, jiwa ideologi anak bangsa, yang dipelopori oleh
wakil presiden sekaligus presiden RI keberapa saja, hanya sekedar jual tampang.
Jual merek. Jual nama besar leluhurnya. Agar tampak berbobot, bobot diri,
diimbangi isak tangis pengharu rasa. Di pihak lain jenis, muncul orasi
berhiba-hiba memprihatinkan nasib pemerintah.
Mengenakan busana kebesaran dan atribut partai,
menjadikan dirinya bak jagoan, kampiun, jawara, pahlawan. Muncul semangat
nasionalisme sesuai kadar diri yang tak jauh dari asupan Rp. Semangat
kepahlawanan pejuang politik diukur dari bagaimana caranya menghadapi lawan
politik. Ganyang lawan politik sampai nafas terakhir.
Pahlawan tak dikenal sebagai pejuang revolusi.
Pejuang lintas zaman, yang tetap menegakkan eksisten NKRI. Lewat jalur sunyi,
pilih kendaraan senyap, mereka tetap peras keringat demi nusa dan bangsa.
Pejuang politik baru dikenal namanya, setelah berurusan dengan pihak berwajib.
Tertangkap tangan KPK. Kena garukan dan razia penyakit masyarakat. Kalau duduk
manis, terkantuk-kantuk di sidang wakil rakyat, itu konsekuensi logis akibat
sering blusukan nyambangi dapil-nya. Menjaring dan menyaring aspirasi rakyat
secara langsung.
Frasa ‘pejuang politik’
tampak heroik, hanya dilakukan orang yang tanpa pamrih. Minimal, orang yang
sudah tidak memikirkan dunia. Berjuang karena Allah, untuk Allah semata. Konsep
yang ideal, di atas kertas atau dalam bentuk naskah akademis. Jika ‘pejuang
politik’ mendapat balasan dunia berwujud takhta, harta dan jelita (bagi pria)
atau berbentuk harta, harta, harta bagi kaum hawa, sebagai konsekuensi logis
bahwa bangsa yang besar akan membayar jasa ‘pejuang politik’.
Berjuang di jalur
politik, maksudnya sebagai anggota aktif partai politik, baru dikatakan
berhasil jika mampu menjadi pengurus partai. Minimal pengurus partai tingkat
kelurahan/desa atau menapak dari bawah. Kesuksesan sebagai pengurus partai,
dirasakan iika sudah mampu meningkat menjadi wakil rakyat tingkat
kabupaten/kota atau lebih prestius lagi menjadi bupati/walikota.
Rekam jejak sebagai pejuang politik terletak pada
kemampuan modus operandi berkelit,
mengindar, mengelak jebakan dan jeratan pasal hukum. Dalih loyal, patuh, setia,
taat, pada kebijakan partai tetap diutamakan. Terkhusus tunduk kepada oknum
ketua umum partai tanpa pikir panjang.
Pejuang berbasis wong cilik, kalah pamor dengan pejuang politik, yang
berhasil mengkibarkan bendera partai di istana negara. Nasib rakyat tergantung
daya juang wakil rakyat. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga
pusat. Jangan disalahkan jika rakyat menggeliat, rakyat bangkit, rakyat turun
ke jalan, melakukan unjuk raga dan unjuk rasa.
Jangan membayangkan
betapa pengurus atau pejabat elit parpol tingkat nasional, jangan dikaitkan
dengan sukses duniawi. Kita bahkan harus bangga, penyelengara negara, katakan
menteri, sudah seperti prosesi di negara maju. Yaitu kaya dulu dari sono-nya,
baru jadi menteri. Bukan kebalikannya. Jadi menteri dahulu, baru berurusan
dengan KPK. Indonesia negara multipartai, memberi peluang kepada orang kaya,
pemodal untuk mendirikan partai politik. Landasan ideologisnya tak jauh dari
kalkulasi politik berbasis asas untung-rugi atau fungsi dari Rp.
Berpolitik identik
dengan mengurus negara. Ironisnya, banyak ‘pejuang politik’ yang sekali tampil
langsung tenggelam. Atau tampil untuk tenggelam. Biaya politik, mahar politik,
upeti politik atau jenis lainnya yang hanya diketahui oleh oknumnya, lebih
besar daripada harga sebuah ‘kursi’. Semangat otonomi daerah pada hakikatnya
untuk membuat kursi-kursi kecil, tetapi tetap menjanjikan, prospektus.
Dampaknya, muncul dinasti politik sampai tingkat provinsi.
Eksistensi, jati diri, esensi demokrasi di Indonesia bisa dilacak pada pra
dan pasca pesta demokrasi. Apapaun yang terjadi, kita wajib bersyukur, masih
ada anak bangsa berkiprah dalam dewan kemakmuran Nusantara. Tanpa pamrih, berjibaku
di yayasan Indonesia sejahtera. Bahkan oknum anak bangsa yang pernah masuk
tataran wakil presiden dan/atas presiden masih belum puas untuk menyumbangkan
akal pikirannya.Tepatnya, dengan modal akal politik, masih ingin tetap eksis di
jagad politik.
Namun jika ada pejuang politik yang mampu kaya secara
finansial, ekonomi, yang kemudian layak, patut diresmikan jadi pembantu
presiden, sebagai bukti bahwa partai politik sebagai mata pencaharian utama. Bisa
menjadi menu utama revolusi mental, sebagai bahan ajar pendidikan politik
praktis. Wajar ybs bisa berpenghasilan jauh di atas rata-rata petani
se-Nusantara. Ybs bisa fokus dan mengabdikan dirinya secara total demi
cita-cita partai. Apa itu cita-cita partai, pernah saya tayangkan di blog yang
sama.
Jadi, wahai negaraku sebagai bangsa besar, bayar lunas
jasa pejuang politik sebelum jatuh tempo. Sebelum keringat dan air mata buaya
kering. Sebelum ingatan politik dan syahwat politik susut. Sebelum ambisi
politiknya memudar. Sebelum daya ideologinya beralih rupa.
Indonesia dengan
polulasi nomer empat sedunia, menjadikan sebagai bangsa besar. Tua, tanpa loyo
dan layu, berdampak di panggung, industri dan syahwat politik, masih
bersliweran politisi sipil yang tak mati-mati - walau bukan sebagai mayat hidup
- dan tak akan puas sampai mati.
Jika batas
usia dikaitkan dengan produktifitas, ada baiknya, bukan berarti ybs harus duduk
yang manis. Usia senja jangan diartikan sebagai usia yang ditunggu, sebagai
saat tepat sibuk dengan urusan akhirat. Usia senja jangan diartikan sebagai
masuk kotak, habis segala daya dan upaya. Usia pensiun memang bisa diartikan
saat uber rezeki. Karena selama masih aktif, hanya menjalankan kewajiban sesuai
tugas dan fungsi kerja. Pasca pensiun, garis kehidupan tak akan menaik tajam
atau merosot drastis. Tak salah sejak belia sudah mandi keringat, nanti hidup
tua menjadi bermartabat. Semakin berumur, hidup semakin teratur. Walau sudah
meliwati masa ternak-teri, tinggal lele (leyeh-leyeh). Tiap pagi duduk
di teras, melahap surat kabar dan menyeruput secangkir teh nasgitel.
Sibuk momong cucu. Urus pekarangan. Bergegas ketika azan dikumandangkan.
Konon, jangan iri, dengki, sirik dengan banyaknya orang
sukses yang berbusana kebesaran partai politik. Acap menjadi obyek tayangan dan
liputan langsung awak media masa berbayar. Muncul di berbagai acara kenegaraan,
bahkan banyak yang tanpa malu diri, tanpa sungkan, tanpa tahu diri memposisikan
diriya sebagai RI-0,5. Minimal sebagai RI-1,5.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar