Halaman

Rabu, 09 November 2016

semangat (hari) pahlawan 2016, pejuang politik tanpa NYATA (nyali, taji, ambisi)



semangat (hari) pahlawan 2016, pejuang politik tanpa NYATA (nyali, taji, ambisi)

Kawanan parpolis Nusantara lebih dominan bertindak dan berucap, ketimbang membuat konsep pilitik yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Liputan, tayangan media massa berbayar menambah semangat oknum pejuang politik untuk tampil diri. Sayang, jiwa ideologi anak bangsa, yang dipelopori oleh wakil presiden sekaligus presiden RI keberapa saja, hanya sekedar jual tampang. Jual merek. Jual nama besar leluhurnya. Agar tampak berbobot, bobot diri, diimbangi isak tangis pengharu rasa. Di pihak lain jenis, muncul orasi berhiba-hiba memprihatinkan nasib pemerintah.

Mengenakan busana kebesaran dan atribut partai, menjadikan dirinya bak jagoan, kampiun, jawara, pahlawan. Muncul semangat nasionalisme sesuai kadar diri yang tak jauh dari asupan Rp. Semangat kepahlawanan pejuang politik diukur dari bagaimana caranya menghadapi lawan politik. Ganyang lawan politik sampai nafas terakhir.

Pahlawan tak dikenal sebagai pejuang revolusi. Pejuang lintas zaman, yang tetap menegakkan eksisten NKRI. Lewat jalur sunyi, pilih kendaraan senyap, mereka tetap peras keringat demi nusa dan bangsa. Pejuang politik baru dikenal namanya, setelah berurusan dengan pihak berwajib. Tertangkap tangan KPK. Kena garukan dan razia penyakit masyarakat. Kalau duduk manis, terkantuk-kantuk di sidang wakil rakyat, itu konsekuensi logis akibat sering blusukan nyambangi dapil-nya. Menjaring dan menyaring aspirasi rakyat secara langsung.

Frasa ‘pejuang politik’ tampak heroik, hanya dilakukan orang yang tanpa pamrih. Minimal, orang yang sudah tidak memikirkan dunia. Berjuang karena Allah, untuk Allah semata. Konsep yang ideal, di atas kertas atau dalam bentuk naskah akademis. Jika ‘pejuang politik’ mendapat balasan dunia berwujud takhta, harta dan jelita (bagi pria) atau berbentuk harta, harta, harta bagi kaum hawa, sebagai konsekuensi logis bahwa bangsa yang besar akan membayar jasa ‘pejuang politik’.

Berjuang di jalur politik, maksudnya sebagai anggota aktif partai politik, baru dikatakan berhasil jika mampu menjadi pengurus partai. Minimal pengurus partai tingkat kelurahan/desa atau menapak dari bawah. Kesuksesan sebagai pengurus partai, dirasakan iika sudah mampu meningkat menjadi wakil rakyat tingkat kabupaten/kota atau lebih prestius lagi menjadi bupati/walikota.

Rekam jejak sebagai pejuang politik terletak pada kemampuan modus operandi  berkelit, mengindar, mengelak jebakan dan jeratan pasal hukum. Dalih loyal, patuh, setia, taat, pada kebijakan partai tetap diutamakan. Terkhusus tunduk kepada oknum ketua umum partai tanpa pikir panjang.

Pejuang berbasis wong cilik, kalah pamor dengan pejuang politik, yang berhasil mengkibarkan bendera partai di istana negara. Nasib rakyat tergantung daya juang wakil rakyat. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Jangan disalahkan jika rakyat menggeliat, rakyat bangkit, rakyat turun ke jalan, melakukan unjuk raga dan unjuk rasa.

Jangan membayangkan betapa pengurus atau pejabat elit parpol tingkat nasional, jangan dikaitkan dengan sukses duniawi. Kita bahkan harus bangga, penyelengara negara, katakan menteri, sudah seperti prosesi di negara maju. Yaitu kaya dulu dari sono-nya, baru jadi menteri. Bukan kebalikannya. Jadi menteri dahulu, baru berurusan dengan KPK. Indonesia negara multipartai, memberi peluang kepada orang kaya, pemodal untuk mendirikan partai politik. Landasan ideologisnya tak jauh dari kalkulasi politik berbasis asas untung-rugi atau fungsi dari Rp.

Berpolitik identik dengan mengurus negara. Ironisnya, banyak ‘pejuang politik’ yang sekali tampil langsung tenggelam. Atau tampil untuk tenggelam. Biaya politik, mahar politik, upeti politik atau jenis lainnya yang hanya diketahui oleh oknumnya, lebih besar daripada harga sebuah ‘kursi’. Semangat otonomi daerah pada hakikatnya untuk membuat kursi-kursi kecil, tetapi tetap menjanjikan, prospektus. Dampaknya, muncul dinasti politik sampai tingkat provinsi.

Eksistensi, jati diri, esensi demokrasi di Indonesia bisa dilacak pada pra dan pasca pesta demokrasi. Apapaun yang terjadi, kita wajib bersyukur, masih ada anak bangsa berkiprah dalam dewan kemakmuran Nusantara. Tanpa pamrih, berjibaku di yayasan Indonesia sejahtera. Bahkan oknum anak bangsa yang pernah masuk tataran wakil presiden dan/atas presiden masih belum puas untuk menyumbangkan akal pikirannya.Tepatnya, dengan modal akal politik, masih ingin tetap eksis di jagad politik.

Namun jika ada pejuang politik yang mampu kaya secara finansial, ekonomi, yang kemudian layak, patut diresmikan jadi pembantu presiden, sebagai bukti bahwa partai politik sebagai mata pencaharian utama. Bisa menjadi menu utama revolusi mental, sebagai bahan ajar pendidikan politik praktis. Wajar ybs bisa berpenghasilan jauh di atas rata-rata petani se-Nusantara. Ybs bisa fokus dan mengabdikan dirinya secara total demi cita-cita partai. Apa itu cita-cita partai, pernah saya tayangkan di blog yang sama.

Jadi, wahai negaraku sebagai bangsa besar, bayar lunas jasa pejuang politik sebelum jatuh tempo. Sebelum keringat dan air mata buaya kering. Sebelum ingatan politik dan syahwat politik susut. Sebelum ambisi politiknya memudar. Sebelum daya ideologinya beralih rupa.

Indonesia dengan polulasi nomer empat sedunia, menjadikan sebagai bangsa besar. Tua, tanpa loyo dan layu, berdampak di panggung, industri dan syahwat politik, masih bersliweran politisi sipil yang tak mati-mati - walau bukan sebagai mayat hidup -  dan tak akan puas sampai mati.

Jika batas usia dikaitkan dengan produktifitas, ada baiknya, bukan berarti ybs harus duduk yang manis. Usia senja jangan diartikan sebagai usia yang ditunggu, sebagai saat tepat sibuk dengan urusan akhirat. Usia senja jangan diartikan sebagai masuk kotak, habis segala daya dan upaya. Usia pensiun memang bisa diartikan saat uber rezeki. Karena selama masih aktif, hanya menjalankan kewajiban sesuai tugas dan fungsi kerja. Pasca pensiun, garis kehidupan tak akan menaik tajam atau merosot drastis. Tak salah sejak belia sudah mandi keringat, nanti hidup tua menjadi bermartabat. Semakin berumur, hidup semakin teratur. Walau sudah meliwati masa ternak-teri, tinggal lele (leyeh-leyeh). Tiap pagi duduk di teras, melahap surat kabar dan menyeruput secangkir teh nasgitel. Sibuk momong cucu. Urus pekarangan. Bergegas ketika azan dikumandangkan.

Konon, jangan iri, dengki, sirik dengan banyaknya orang sukses yang berbusana kebesaran partai politik. Acap menjadi obyek tayangan dan liputan langsung awak media masa berbayar. Muncul di berbagai acara kenegaraan, bahkan banyak yang tanpa malu diri, tanpa sungkan, tanpa tahu diri memposisikan diriya sebagai RI-0,5. Minimal sebagai RI-1,5.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar