dikotomi ideologi lima tahunan, merebut kekuasaan vs membina kader
Memang salah, kalau merebut kekuasaan secara
konstitusional lewat jalur politik, bertolak belakang dengan ikhtiar partai
politik membina anggota atau membibit kadernya. Hukum keseimbangan, pasal
harmonis terbukti bahwa merebut kekuasaan berbanding lurus dengan membina
kader.
Merebut jabatan presiden, disyaratkan merebut jumlah
suara wakil rakyat di DPR dalam persen atau jumlah tertentu, baru bisa ikut
pemilihan presiden. Sejak presiden dipilih langsung oleh rakyat yang
menggunakan hak pilihnya, tahun 2014, banyak kejadian atau tepatnya tragedi politik.
Mulai penentuan dan penetapan siapa jadi kandidat calon
wakil rakyat yang ikut pemilu legislatif, tingkat kabupaten/kota, tingkat
provinsi maupun pusat, konflik internal di tubuh partai sudah biasa. Menetapkan
nomer urut bagi bakal calon pun, bukan persoalan mudah. Walau pengalaman ikut
pesta demokrasi.
Puncak, klimaks tragedi politik ketika Joko Widodo hanya
sebagai petugas partai mampu disumpah jadi presiden RI ke-7. Kalau ditarik
mundur, banyak Pekerjaan Rumah bangsa menanti. Siapa yang jadi pembantu
presiden dari komplotan partai pendukung Jokowi_JK, berujung dengan perombakan kabinet
(kapan) kerja. Ada menteri dengan modal nama baik orang tuanya, adem ayem tata
tentrem. Bahkan jadi menteri koordinator.
Aroma irama syahwat politik Nusantara dipercantik dengan
hasil kinerja KPK. Tahun pertama, sekjen partai nasdem sudah jadi korban.
Selanjutnya sudah jadi pemberitaan liar berbagai media massa, medsos, media
daring atau bentuk tampilan dan tayangan lainnya.
Entah mengacu atau mengaca pada apa dan siapa, masih ada
yang tega mendirikan partai politik. Yang sudah eksis, berkibar dan rekam jejaknya
di atas syarat administrasi saja kapiran, keteteran merekrut anggotanya. Pakai pola comot sana-sini.
Kita tidak tahu dan memang tidak mau tahu, jika presiden
baru AS yang minim pengalaman politik tetapi karena uang dan dukungan pihak
tertentu, siap disumpah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar