Halaman

Kamis, 24 Maret 2016

Indonesia terbuai nujum dukun politik kambuhan

Indonesia terbuai nujum dukun politik kambuhan

Konon, praktik demokrasi di Indonesia sangat dinamis, luwes, genit, sesuai permintaan pasar. Tergantung konsepsi tak tertulis di atas kertas, siapa yang melaksanakannya, dan bagaimana kondisi terkini di lapangan. Suka-suka siapa yang sedang berkuasa. Demokrasi antar kabupaten/kota pun seolah tidak ada benang merahnya. Kalau ada, bagaimana politik kekuasaan dipelihara dengan seksama dalam tempo selama mungkin.

Konon, begitu era Reformasi bergulir tanpa kendali dari puncaknya t.m.t 21 Mei 1998, tanpa komando lahirlah demokrasi perwakilan. Perjalanan waktu dan usia Reformasi yang ditata sesuai tahapan menu dan selera politik Nusantara, menjadikan politik sebagai berhala yang menentukan nasib bangsa dan negara. Asas keterwakilan, entah siapa mewakili siapa, mulai urusan dapur agar tetap ngepul sampai urusan negara agar dapur negara (partai politik) tetap berasap.

Konon, penyakit politik yaitu merasa bisa jadi pemimpin telah merasuki jiwa raga para petarung politik, tidak pandang jenis dan ukuran kelamin. Nafsu yang mendominasi otak, logika, akal politiknya, tepatnya syahwat politiknya, adalah bagaimana bisa menang dalam setiap lomba konstitusional, liwat ajang pesta demokrasi. Minimal di ajang pilkada bisa tampil, syukur kalau jadi pemenang. Biaya politik menyandera keikhlasan untuk padamu negeri kami berbakti, menjadi bagimu partai jiwa raga kami.

Konon, kenapa presiden RI kedua bisa awet dan tetap eksis liwat 7 kali pemilu, dikarenakan lihai menggunakan parpol sebagai kendaraan politik. Pak Harto dikenal pandai memanfaatkan orang-orang pandai. Kalau tidak bisa dirangkul, akan didengkul dengan halus. Pihak yang bersebarangan akan dibuat mati kutu, mati kapiran, mati kaliren. Pihak yang anti kemapanan, jalur masa depannya sudah diblokade secara sistematis. Pihak yang kritis bisa berakhir tragis, bisa dibreidel nuraninya.


Konon, di periode 2014-2019, Jokowi tanpa JK, jauh tahu sudah bisa mengendus dengan gaya dan daya wong Jawa, yaitu ada parpol yang bisa diperalat hidup-hidup. Mengacu kejadian politik semasa era SBY, 2004-2009 ditambah 2009-2014, Jokowi sudah berani mengambil langkah jitu. Proses sejak menjabat walikota Surakarta nan Solo, menjadikan Jokowi meluncurkan dendang revolusi mental. Terbukti, siapa pemegang kendali revolusi mental, tepatnya sebagai pembantu presiden, bagaikan memberi mainan kepada anak kecil. Agar sang anak diam, duduk manis menunggu nasi matang. Biar sang anak tidak berulah, merengek minta jabatan yang lebih tinggi, merajuk minta kursi yang lebih empuk. Supaya emak sang anak menjadi jinak jinak-jinak kucing garong yang suka mengeong-ngeong minta perhatian. Wedi rai wani bokong [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar