Indonesia terbuai nujum dukun politik
kambuhan
Konon, praktik demokrasi di Indonesia sangat dinamis, luwes,
genit, sesuai permintaan pasar. Tergantung konsepsi tak tertulis di atas
kertas, siapa yang melaksanakannya, dan bagaimana kondisi terkini di lapangan.
Suka-suka siapa yang sedang berkuasa. Demokrasi antar kabupaten/kota pun seolah
tidak ada benang merahnya. Kalau ada, bagaimana politik kekuasaan dipelihara
dengan seksama dalam tempo selama mungkin.
Konon, begitu era Reformasi bergulir tanpa kendali dari puncaknya
t.m.t 21 Mei 1998, tanpa komando lahirlah demokrasi perwakilan. Perjalanan
waktu dan usia Reformasi yang ditata sesuai tahapan menu dan selera politik
Nusantara, menjadikan politik sebagai berhala yang menentukan nasib bangsa dan
negara. Asas keterwakilan, entah siapa mewakili siapa, mulai urusan dapur agar
tetap ngepul sampai urusan negara agar dapur negara (partai politik)
tetap berasap.
Konon, penyakit politik yaitu merasa bisa jadi pemimpin telah
merasuki jiwa raga para petarung politik, tidak pandang jenis dan ukuran
kelamin. Nafsu yang mendominasi otak, logika, akal politiknya, tepatnya syahwat
politiknya, adalah bagaimana bisa menang dalam setiap lomba konstitusional,
liwat ajang pesta demokrasi. Minimal di ajang pilkada bisa tampil, syukur kalau
jadi pemenang. Biaya politik menyandera keikhlasan untuk padamu negeri kami
berbakti, menjadi bagimu partai jiwa raga kami.
Konon, kenapa presiden RI kedua bisa awet dan tetap eksis
liwat 7 kali pemilu, dikarenakan lihai menggunakan parpol sebagai kendaraan
politik. Pak Harto dikenal pandai memanfaatkan orang-orang pandai. Kalau tidak
bisa dirangkul, akan didengkul dengan halus. Pihak yang bersebarangan akan
dibuat mati kutu, mati kapiran, mati kaliren. Pihak yang anti kemapanan, jalur
masa depannya sudah diblokade secara sistematis. Pihak yang kritis bisa
berakhir tragis, bisa dibreidel nuraninya.
Konon, di periode 2014-2019, Jokowi tanpa JK, jauh tahu sudah
bisa mengendus dengan gaya dan daya wong Jawa, yaitu ada parpol yang bisa diperalat
hidup-hidup. Mengacu kejadian politik semasa era SBY, 2004-2009 ditambah
2009-2014, Jokowi sudah berani mengambil langkah jitu. Proses sejak menjabat
walikota Surakarta nan Solo, menjadikan Jokowi meluncurkan dendang revolusi
mental. Terbukti, siapa pemegang kendali revolusi mental, tepatnya sebagai
pembantu presiden, bagaikan memberi mainan kepada anak kecil. Agar sang anak
diam, duduk manis menunggu nasi matang. Biar sang anak tidak berulah, merengek minta
jabatan yang lebih tinggi, merajuk minta kursi yang lebih empuk. Supaya emak
sang anak menjadi jinak jinak-jinak kucing garong yang suka mengeong-ngeong
minta perhatian. Wedi rai wani bokong [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar