Berpikir, jenuh jadi beban kosong jadi teman
setan
Jamaah isya’ yang duduk di
sebelah kiri saya, seolah berguman atau bernasihat tak langsung : “Menurut
HAMKA, pikiran jangan jadi beban .. “. Langsung saya timpali : “Tapi otak,
pikiran harus tetap jalan, tetap diasah.”. Terjadi sedikit dialog ringan,
pelan, takut mengganggu suasana masjid. Diskusi terhenti karena iqomah, tetap
membekas dalam hati. Apakah saat itu saya terlihat terbang pikiran, atau Allah
sedang memberikan petunjuk liwat omongan orang lain. Wallahu a’lam.
Itulah hidup, banyak
kejadian, peristiwa melintas di depan hidung, dalam jangkauan mata, yang tampak
sepele namun jika ditelaah merupakan sinyal yang tak sepele. Merupakan ayat
kauniyah. Berada di tempat ramai, berjubel berbagai kesibukan, hati kita bisa
jadi “sepi”. Pikiran tak berada di tempat, entah melayang kemana. Panca indra
bisa semi tuli, tumpul dan kurang peka. Duduk manis terasa tak nyaman, berdiri
semakin penat. Ujung-ujungnya, emosi yang menjadi juru bicara.
Akankah
ketika duduk diam tafakur di masjid, secara fisik diam namun pikiran sangat
dinamis, malah nampak sikap kemalasan? Wajar, menunggu sebagai pekerjaan yang paling
membosankan. Jangan lupa, dengan tafakur kita bisa sejenak merenungi atau
bahkan melakukan interaksi dengan Allah. Tafakur untuk mencari jawaban dari
masalah yang sedang digeluti atau minimal memantapkan hati atas kondisi dan posisi
diri. Kita simak firman Allah di [QS An Nahl (16) : 78] : “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Betapa ternyata daya pikir
manusia merupakan bawaan sejak lahir. Diawali dengan “dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun”. Tersirat bahwa berpikir untuk mengetahui sesuatu. Daya
pikir baru bisa berfungsi karena berfungsinya pendengaran dan pengelihatan pada
fase setelah kita dilahirkan. Berkembang sejalan dengan pertambahan usia
manusia, panca indra merangsang kerja dan kinerja daya pikir.
Bagaimana seorang manusia dimulai sejak lahir merefleksikan makna “Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan . . .”. Bayi menangis karena berbagai sebab. Bayi merespon apa saja yang didengarnya, dilihatnya. Celoteh bayi adalah tutur bahasa dan gaya bicara selain sebagai sikap responsif juga sebagai proses berbicara. Ikhwal ini sesuai firman Allah di [QS Ar Rahmaan (55) : 3-4] : “Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”
Bagaimana seorang manusia dimulai sejak lahir merefleksikan makna “Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan . . .”. Bayi menangis karena berbagai sebab. Bayi merespon apa saja yang didengarnya, dilihatnya. Celoteh bayi adalah tutur bahasa dan gaya bicara selain sebagai sikap responsif juga sebagai proses berbicara. Ikhwal ini sesuai firman Allah di [QS Ar Rahmaan (55) : 3-4] : “Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”
Ternyata, aspek kecerdasan
manusia dalam sebutan insan, sebagai makhluk terbaik yang diberi akal sehingga
mampu menyerap ilmu pengetahuan, tidak ada batasannya. Akal manusia masih
selalu diuji antara lain dengan fenomena alam. Akal manusia ada batasannya,
ketika manusia sibuk mencari kebenaran.
Manusia sering terjebak
dengan standarisasi, kategori, klasifikasi daya pikir. Ada yang dinamakan
berpikir kritis sampai berpikir apa adanya. Bahasa gaul “ingin tahu saja” atau “ingin
tahu banget”, berlaku pada mengapa kita berpikir.
Berpikir tidak sekedar olah
akal, tetapi dibarengi dengan produk hati. Akal muncul karena kebiasaan,
hafalan, atau yang sifatnya rutin dari apa saja yang sudah kita lakukan, yang
telah kita raih. Tersimpukan, tantangan berpikir adalah mencari jawaban apa
saja yang belum kita lakukan sekaligus apa saja yang belum kita raih. Berpikir
agar peri kehidupan meningkat secara kualitas dan kuantitas.
Pikiran menjadi beban ketika
akalnya hanya membayangkan apa yang ingin dikerjakan dan apa yang ingin diraih.
Bukan bersegera mewujudkan angan-angan yang telah didukung penuh oleh akalnya,
yang telah diproses oleh daya pikirnya.
Tak jarang terjadi pada diri
manusia, orangnya masih terpaku diam ditempat, namum pikirannya sudah jauh
mengembara. Atau orangnya tampak sibuk kian kemari, namun pikirannya statis,
mematung ditempat. Kerasukan setan bisa terjadi pada jiwa yang tidak dapat
sentuhan nilai religi, bisa terjadi pada pikiran yang tak berujung pangkal.
Justru dengan tafakur, kita
bisa menyeimbangkan alam pikiran kita dengan kenyataan yang ada. Kita bisa
mengetahu kondisi dan posisi kita, apakah masih di jalan-Nya atau sudah melaju
di jalur lain.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar