Halaman

Rabu, 09 Maret 2016

Berpikir, jenuh jadi beban kosong jadi teman setan

Berpikir, jenuh jadi beban kosong jadi teman setan

Jamaah isya’ yang duduk di sebelah kiri saya, seolah berguman atau bernasihat tak langsung : “Menurut HAMKA, pikiran jangan jadi beban .. “. Langsung saya timpali : “Tapi otak, pikiran harus tetap jalan, tetap diasah.”. Terjadi sedikit dialog ringan, pelan, takut mengganggu suasana masjid. Diskusi terhenti karena iqomah, tetap membekas dalam hati. Apakah saat itu saya terlihat terbang pikiran, atau Allah sedang memberikan petunjuk liwat omongan orang lain. Wallahu a’lam.

Itulah hidup, banyak kejadian, peristiwa melintas di depan hidung, dalam jangkauan mata, yang tampak sepele namun jika ditelaah merupakan sinyal yang tak sepele. Merupakan ayat kauniyah. Berada di tempat ramai, berjubel berbagai kesibukan, hati kita bisa jadi “sepi”. Pikiran tak berada di tempat, entah melayang kemana. Panca indra bisa semi tuli, tumpul dan kurang peka. Duduk manis terasa tak nyaman, berdiri semakin penat. Ujung-ujungnya, emosi yang menjadi juru bicara.

Akankah ketika duduk diam tafakur di masjid, secara fisik diam namun pikiran sangat dinamis, malah nampak sikap kemalasan? Wajar, menunggu sebagai pekerjaan yang paling membosankan. Jangan lupa, dengan tafakur kita bisa sejenak merenungi atau bahkan melakukan interaksi dengan Allah. Tafakur untuk mencari jawaban dari masalah yang sedang digeluti atau minimal memantapkan hati atas kondisi dan posisi diri. Kita simak firman Allah di [QS An Nahl (16) : 78] : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Betapa ternyata daya pikir manusia merupakan bawaan sejak lahir. Diawali dengan “dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun”. Tersirat bahwa berpikir untuk mengetahui sesuatu. Daya pikir baru bisa berfungsi karena berfungsinya pendengaran dan pengelihatan pada fase setelah kita dilahirkan. Berkembang sejalan dengan pertambahan usia manusia, panca indra merangsang kerja dan kinerja daya pikir.

Bagaimana seorang manusia dimulai sejak lahir merefleksikan makna “Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan . . .”. Bayi menangis karena berbagai sebab. Bayi merespon apa saja yang didengarnya, dilihatnya. Celoteh bayi adalah tutur bahasa dan gaya bicara selain sebagai sikap responsif juga sebagai proses berbicara. Ikhwal ini sesuai firman Allah di [QS Ar Rahmaan (55) : 3-4] : Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”

Ternyata, aspek kecerdasan manusia dalam sebutan insan, sebagai makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan, tidak ada batasannya. Akal manusia masih selalu diuji antara lain dengan fenomena alam. Akal manusia ada batasannya, ketika manusia sibuk mencari kebenaran.

Manusia sering terjebak dengan standarisasi, kategori, klasifikasi daya pikir. Ada yang dinamakan berpikir kritis sampai berpikir apa adanya. Bahasa gaul “ingin tahu saja” atau “ingin tahu banget”, berlaku pada mengapa kita berpikir.

Berpikir tidak sekedar olah akal, tetapi dibarengi dengan produk hati. Akal muncul karena kebiasaan, hafalan, atau yang sifatnya rutin dari apa saja yang sudah kita lakukan, yang telah kita raih. Tersimpukan, tantangan berpikir adalah mencari jawaban apa saja yang belum kita lakukan sekaligus apa saja yang belum kita raih. Berpikir agar peri kehidupan meningkat secara kualitas dan kuantitas.

Pikiran menjadi beban ketika akalnya hanya membayangkan apa yang ingin dikerjakan dan apa yang ingin diraih. Bukan bersegera mewujudkan angan-angan yang telah didukung penuh oleh akalnya, yang telah diproses oleh daya pikirnya.

Tak jarang terjadi pada diri manusia, orangnya masih terpaku diam ditempat, namum pikirannya sudah jauh mengembara. Atau orangnya tampak sibuk kian kemari, namun pikirannya statis, mematung ditempat. Kerasukan setan bisa terjadi pada jiwa yang tidak dapat sentuhan nilai religi, bisa terjadi pada pikiran yang tak berujung pangkal.

Justru dengan tafakur, kita bisa menyeimbangkan alam pikiran kita dengan kenyataan yang ada. Kita bisa mengetahu kondisi dan posisi kita, apakah masih di jalan-Nya atau sudah melaju di jalur lain.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar