Halaman

Jumat, 11 Maret 2016

Parpol, pelengkap atau pelaku demokrasi

Parpol, pelengkap atau pelaku demokrasi

Setiap pilkada, memancing minat, niat, hasrat berbagai pihak yang merasa bisa menjadi kepala daerah, minimal wakil kepala daerah. Khususnya pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masih menjabat, yang sedang merasakan nikmatnya manfaat jabatan. Pihak yang memandang wajar “rumput tetangga lebih hijau” sampai yang menganut falsafah minimalis “diatas langit masih ada langit”.

UU tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota bersifat dinamis. Mengakomodir kepentingan pihak tertentu juga sekaligus menganulir kepentingan pihak tertentu. Belajar dari sejarah pilkada serentak 9 Desember 2015, ternyata jalur perseorangan bisa sukses, meraih suara pemilih dan sampai pada pengambilan sumpah jabatan.

Menghadapi pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, banyak PR terselubung yang harus kita cermati, jangan sampai kita terjebak pada skenario atau konspirasi pihak tertentu. Tidak sekedar calon perseorangan yang bak mengabaikan eksistensi partai politik maupun gabungan partai politik. Politik jangan dipandang sebagai politik an sich ("pada dirinya sendiri") kata ahlinya. Politik jangan diposisikan sebagai panglima. Politik bukan sebagai faktor penentu perjalanan bangsa dan negara. Politik bukan sebagai pemain utama dan pelaku tunggal.

Sejarah pesta demokrasi 2014 menyisakan bukti, betapa tim relawan Jokowi-JK yang multi guna, multi manfaat sekaligus multi dampak, multi efek menjadi blunder politik, menjelma menjadi bumerang dan senjata makan tuan. Suhu politik Nasional ditentukan oleh ulah pergerakkan mantan tim sukses, yang sedang menikmati kue sukses (balas jasa dan balas budi politik). [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar