Parpol,
pelengkap atau pelaku demokrasi
Setiap
pilkada, memancing minat, niat, hasrat berbagai pihak yang merasa bisa menjadi
kepala daerah, minimal wakil kepala daerah. Khususnya pasangan kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang masih menjabat, yang sedang merasakan nikmatnya manfaat
jabatan. Pihak yang memandang wajar “rumput tetangga lebih hijau” sampai yang
menganut falsafah minimalis “diatas langit masih ada langit”.
UU
tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota bersifat dinamis. Mengakomodir
kepentingan pihak tertentu juga sekaligus menganulir kepentingan pihak
tertentu. Belajar dari sejarah pilkada serentak 9 Desember 2015, ternyata jalur
perseorangan bisa sukses, meraih suara pemilih dan sampai pada pengambilan
sumpah jabatan.
Menghadapi
pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, banyak PR terselubung yang harus kita
cermati, jangan sampai kita terjebak pada skenario atau konspirasi pihak
tertentu. Tidak sekedar calon perseorangan yang bak mengabaikan eksistensi
partai politik maupun gabungan partai politik. Politik jangan dipandang sebagai
politik an sich ("pada dirinya sendiri") kata ahlinya.
Politik jangan diposisikan sebagai panglima. Politik bukan sebagai faktor
penentu perjalanan bangsa dan negara. Politik bukan sebagai pemain utama dan
pelaku tunggal.
Sejarah
pesta demokrasi 2014 menyisakan bukti, betapa tim relawan Jokowi-JK yang multi guna,
multi manfaat sekaligus multi dampak, multi efek menjadi blunder politik,
menjelma menjadi bumerang dan senjata makan tuan. Suhu politik Nasional
ditentukan oleh ulah pergerakkan mantan tim sukses, yang sedang menikmati kue
sukses (balas jasa dan balas budi politik). [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar