sumber daya politik, ruang juang semakin
langka vs daya juang semakin mengangka
Frasa "sumber daya" memang lazim diterapkan secara
normatif, namun masih belum bermakna. Belum ada penjelasan resmi dari berbagai
disiplin dan cabang ilmu pengetahuan. Perlu imbuhan atau tambahan, agar
terdeteksi kemanfaatannya. Misal sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam
(SDA) dan entah apa lagi yang sudah baku dan acap dipakai. Secara latah dipakai
sebagai penyedap tulisan agar nampak ilmiah dan berbobot.
Bahasa politik tak kalah serunya memakai frasa “sumber
daya” agar tak termarginalkan oleh perubahan zaman. Pemain dan pelaku politik,
yang dengan gagah dan lantang memposisikan dirinya sebagai sumber daya politik,
yang hakikatnya adalah korban sadar dari tipu daya dunia.
Akhirnya, memang tidak ada frasa “sumber daya politik”.
Kalau ada dan dijelaskan dalam kamus (?) atau berbagai artikel ilmiah, pidato
politis malah semakin fokus bukti bahwa sumber daya politik cuma satu dan
satu-satunya yaitu : UANG. Uang mampu menyelesaikan berbagai masalah. Uang yang
tanpa bicara mampu mengakhiri pembicaraan dan perselisihan dunia. Ketika uang
bicara, pasal apapun akan takluk.
Ada baiknya saya tayang ulang berita berikut :
“Satu Persen Orang Terkaya Kuasai
Setengah Seluruh Kekayaan di Indonesia”
REPUBLIKA.CO.ID,
MAKASSAR -- senin, 28 Desember
2015, 18:15 WIB -- Mantan Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era Presiden Soeharto, Tanri Abeng, menyatakan
saat ini satu persen orang terkaya tanah air telah menguasai hingga 50,3 persen
dari seluruh kekayaan yang ada di Indonesia.
"Berdasarkan
laporan Bank Dunia disebutkan jika satu persen orang terkaya di negeri ini
telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia. Artinya bangsa ini menurut saya
ada problem dan sudah seharusnya dicarikan solusi," kata Tanre Abeng dalam
orasi ilmiah Politik Ekonomi dan Keuangan Inklusif Badan Usaha Milik Rakyat
(BMUR) di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulsel, Senin (28/12).
Ia menjelaskan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam namun justru yang
terlihat tidak demikian dengan kondisi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan
yang semakin terus melebar.
Kesenjangan ini tidak
saja tercermin dari perbedaan pendapatan atau kekayaan antargolongan, namun
juga antardaerah. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi yakni kesenjangan
kapasitas sumber daya manusia yang bersumber antara lain dari kualitas
pendidikan antardaerah di Indonesia yang memang belum merata.
Kesenjangan yang
terjadi, menurut dia, jelas menggambarkan ketdakadilan dalam negara demokrasi
dan kedaulatan rakyat. Maka dari itu dibutuhkan komitmen pemerintah dan negara
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
"Mengutip
pernyataan Wapres Jusuf Kalla dalam buku 'Badan Usaha Milik Rakyat' yang saya
luncurkan hari ini menyebutkan tidak ada keadilan tanpa pengaturan. Tapi siapa
yang harus mengatur masalah ini tentu saja tugas negara," katanya.
Politik ekonomi
Indonesia sejak orde baru hingga saat ini, kata dia, masih condong lepas kepada
mekanisme pasar. Artinya tidak ada kontrol atau keberpihakan yang jelas
terhadap pelaku ekonomi golongan lemah.
Ia mengakui
pertumbuhan ekonomi memang tercipta, namun lebih inklusif dinikmati para pelaku
ekonomi besar yang sekaligus melahirkan kelas menengah yang menjadi sumber
pertumbuhan melalui konsumsi yang terus meningkat.
Berdasarkan data bank
dunia pada 2003 menyebutkan jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7
persen dari polulasi yang ada. Namun pada 2010, kelas menengah di Indonesia
justru sudah mencapai 134 juta jiwa atau 56,6 persen.
Red: Bilal Ramadhan
yogi ardhi/republika
Sumber : Antara
DENGAN KATA LAIN . .
.
Jangan lupa, nasib rakyat se-Indonesia, yang telah
mempunyai hak pilih dan ikut pesta demokrasi 2014 maupun sisanya yang belum punya
hak pilih serta yang lahir setelahnya, secara politis berada di tangan 560
wakil rakyat yang magang di Senayan, Jakarta Selatan.
Do’a bareng semua rakyat agar 560 wakil rakyat
Nusantara mampu menghadapi ‘satu persen orang terkaya Indonesia’. Sehingga
diharapkan ada arus, aliran Rp yang masuk ke rekening, pundi-pundi, dompet, saku
sebagai imbalan jerih payah memperjuangkan nasib rakyat. Atau jangan-jangan daya
pikir, daya juang wakil rakyat sudah terformat, terbingkai, terkungkung secara sistematis selama
lima tahun oleh campur tangan ‘satu persen orang terkaya Indonesia’.
Paling tidak para penyelenggara negara yang sedang menyelesaikan
kontrak politik lima tahun, mampu berlayar sampai batas periode. Tidak turun di
tengah jalan atau diturunkan di tengah jalan karena “kehabisan ongkos”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar