Halaman

Kamis, 03 Maret 2016

sumber daya politik, ruang juang semakin langka vs daya juang semakin mengangka

sumber daya politik, ruang juang semakin langka vs daya juang semakin mengangka


Frasa "sumber daya" memang lazim diterapkan secara normatif, namun masih belum bermakna. Belum ada penjelasan resmi dari berbagai disiplin dan cabang ilmu pengetahuan. Perlu imbuhan atau tambahan, agar terdeteksi kemanfaatannya. Misal sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA) dan entah apa lagi yang sudah baku dan acap dipakai. Secara latah dipakai sebagai penyedap tulisan agar nampak ilmiah dan berbobot.

Bahasa politik tak kalah serunya memakai frasa “sumber daya” agar tak termarginalkan oleh perubahan zaman. Pemain dan pelaku politik, yang dengan gagah dan lantang memposisikan dirinya sebagai sumber daya politik, yang hakikatnya adalah korban sadar dari tipu daya dunia.

Akhirnya, memang tidak ada frasa “sumber daya politik”. Kalau ada dan dijelaskan dalam kamus (?) atau berbagai artikel ilmiah, pidato politis malah semakin fokus bukti bahwa sumber daya politik cuma satu dan satu-satunya yaitu : UANG. Uang mampu menyelesaikan berbagai masalah. Uang yang tanpa bicara mampu mengakhiri pembicaraan dan perselisihan dunia. Ketika uang bicara, pasal apapun akan takluk.

Ada baiknya saya tayang ulang berita berikut :
“Satu Persen Orang Terkaya Kuasai Setengah Seluruh Kekayaan di Indonesia”
REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- senin, 28 Desember 2015, 18:15 WIB -- Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era Presiden Soeharto, Tanri Abeng, menyatakan saat ini satu persen orang terkaya tanah air telah menguasai hingga 50,3 persen dari seluruh kekayaan yang ada di Indonesia.

"Berdasarkan laporan Bank Dunia disebutkan jika satu persen orang terkaya di negeri ini telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia. Artinya bangsa ini menurut saya ada problem dan sudah seharusnya dicarikan solusi," kata Tanre Abeng dalam orasi ilmiah Politik Ekonomi dan Keuangan Inklusif Badan Usaha Milik Rakyat (BMUR) di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulsel, Senin (28/12).

Ia menjelaskan Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam namun justru yang terlihat tidak demikian dengan kondisi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang semakin terus melebar.

Kesenjangan ini tidak saja tercermin dari perbedaan pendapatan atau kekayaan antargolongan, namun juga antardaerah. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi yakni kesenjangan kapasitas sumber daya manusia yang bersumber antara lain dari kualitas pendidikan antardaerah di Indonesia yang memang belum merata.

Kesenjangan yang terjadi, menurut dia, jelas menggambarkan ketdakadilan dalam negara demokrasi dan kedaulatan rakyat. Maka dari itu dibutuhkan komitmen pemerintah dan negara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

"Mengutip pernyataan Wapres Jusuf Kalla dalam buku 'Badan Usaha Milik Rakyat' yang saya luncurkan hari ini menyebutkan tidak ada keadilan tanpa pengaturan. Tapi siapa yang harus mengatur masalah ini tentu saja tugas negara," katanya.

Politik ekonomi Indonesia sejak orde baru hingga saat ini, kata dia, masih condong lepas kepada mekanisme pasar. Artinya tidak ada kontrol atau keberpihakan yang jelas terhadap pelaku ekonomi golongan lemah.

Ia mengakui pertumbuhan ekonomi memang tercipta, namun lebih inklusif dinikmati para pelaku ekonomi besar yang sekaligus melahirkan kelas menengah yang menjadi sumber pertumbuhan melalui konsumsi yang terus meningkat.

Berdasarkan data bank dunia pada 2003 menyebutkan jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7 persen dari polulasi yang ada. Namun pada 2010, kelas menengah di Indonesia justru sudah mencapai 134 juta jiwa atau 56,6 persen.

Red: Bilal Ramadhan
yogi ardhi/republika
Sumber : Antara

DENGAN KATA LAIN . . .
Jangan lupa, nasib rakyat se-Indonesia, yang telah mempunyai hak pilih dan ikut pesta demokrasi 2014 maupun sisanya yang belum punya hak pilih serta yang lahir setelahnya, secara politis berada di tangan 560 wakil rakyat yang magang di Senayan, Jakarta Selatan.

Do’a bareng semua rakyat agar 560 wakil rakyat Nusantara mampu menghadapi ‘satu persen orang terkaya Indonesia’. Sehingga diharapkan ada arus, aliran Rp yang masuk ke rekening, pundi-pundi, dompet, saku sebagai imbalan jerih payah memperjuangkan nasib rakyat. Atau jangan-jangan daya pikir, daya juang wakil rakyat sudah terformat, terbingkai, terkungkung secara sistematis selama lima tahun oleh campur tangan ‘satu persen orang terkaya Indonesia’.

Paling tidak para penyelenggara negara yang sedang menyelesaikan kontrak politik lima tahun, mampu berlayar sampai batas periode. Tidak turun di tengah jalan atau diturunkan di tengah jalan karena “kehabisan ongkos”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar