KPK, bukti Indonesia rawan bencana korupsi
Jelas tidak ada anak bangsa Indonesia
bercita-cita ingin jadi koruptor. Tapi, bisa jadi ada saja manusia Indonesia yang
sejak kecil sudah berkhayal ingin jadi koruptor. Di angan-angan sederhananya,
koruptor, apalagi yang tertangkap tangan atau tertangkap basah, adalah bukan
orang biasa. Minimal pejabat. Khayalan anak-anak, jika koruptor yang tertangkap
tangan digebuki beramai-ramai itu baru penjahat.
Sosok koruptor malah menjadi penglaris media
massa. Betapa tayangan media penyiaran TV, dengan bangga mendramatisir kejadian
perkara korupsi. Ibarat menari-nari di atas bangkai saudara tanpa merasa risi,
tanpa merasa bersalah, tanpa merasa malu. Pembawa berita berbasis tipikor tak
ada bedanya dengan pembawa acara dan pengisi acara gosip, gunjing, ghibah.
Artinya, acara, adegan, atraksi sampah malah menjadi favorit sekaligus
mendongkrak peringkat yang artinya menambah arus masuk fulus.
Fakta bersejarah Polisi frontal amuk KPK,
dikenal dengan episode Buaya vs Cicak, semakin membuktikan bahwa korupsi
sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan, sistem penyelenggaraan
negara.
Tanpa mengacu negara manapun, apakah itu negara
yang merdekanya jauh tahun sebelum Proklamasi, apakah itu negara dengan jumlah
penduduk lebih banyak daripada RI, apakah itu negara modern, maju – bukan urusan
kita. Yang kita persoalkan apa faktor penyebab terjadinya tipikor.
- - - - - - - -
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senin, 22 Februari
2016, 13:06 WIB Kepala Badan Pusat
Statistik (BPS) Suryamin menunjukkan, berdasarkan survei tahun 2015 itu, Indeks
Persepsi Antikorupsi masyarakat Indonesia (3,73) lebih tinggi ketimbang Indeks
Pengalaman Antikorupsi (3,39). Dibandingkan tahun 2014, Indeks Persepsi
Antikorupsi sebesar 3,71 poin, sedangkan Indeks Pengalaman Antikorupsi sebesar
3,49 poin.
Bila ditilik dari tahun 2012 hingga 2015, ada tren
peningkatan dalam hal Indeks Persepsi Antikorupsi. Sebaliknya, dalam periode
yang sama, Indeks Pengalaman Antikorupsi trennya menurun.
"Dengan kata lain, terkesan masyarakat semakin
membenci korupsi (idealis) namun tidak sejalan dengan perilaku nyata dalam
kehidupan sehari-hari," ungkap Suryamin.
- - - - - - - -
Kita tidak tahu persis, apa ada kaitan antara
negara multipartai dengan maraknya tipikor. Tak urung, parpol pendatang baru di
periode 2014-2019 sudah berlangganan KPK. Bentuk korupsi, bentuk turunan
korupsi sangat bervariasi. Bahkan antar pelaku bisa beda tata caranya.
Indonesia sebagai negara hukum, semakin banyak
pasal anti korupsi ditetapkan, malah bagaikan sebagai memberi peluang,
kesempatan, celah, terobosan, jalan pintas bagi (calon) pelaku tipikor. Memang pemeo lama bahwa hukum
dibuat untuk dilanggar, tidak salah 100%. Terbukti, hukum tidak membuat jera
(calon) pelaku tipikor. Sang koruptor yakin bahwa “pengorbanannya” sampai
mendekam di lapas/rutan klas bintang, tak akan sia-sia. Semakin banyak
rambu-rambu dipasang, malah menjadi pengingat bahwa di sini tempat subur untuk
melakukan tipikor.
Akhir olah kata, andai KPK sampai hati membuka
cabang hingga di kabupaten/kota, berarti Indonesia memang masuk negara rawan
bencana korupsi. Walau wabah korupsi sudah merambah sampai tingkat
kabupaten/kota, sejalan dengan lajunya otonomi daerah. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar