Halaman

Selasa, 01 Maret 2016

KPK, bukti Indonesia rawan bencana korupsi

KPK, bukti Indonesia rawan bencana korupsi

Jelas tidak ada anak bangsa Indonesia bercita-cita ingin jadi koruptor. Tapi, bisa jadi ada saja manusia Indonesia yang sejak kecil sudah berkhayal ingin jadi koruptor. Di angan-angan sederhananya, koruptor, apalagi yang tertangkap tangan atau tertangkap basah, adalah bukan orang biasa. Minimal pejabat. Khayalan anak-anak, jika koruptor yang tertangkap tangan digebuki beramai-ramai itu baru penjahat.

Sosok koruptor malah menjadi penglaris media massa. Betapa tayangan media penyiaran TV, dengan bangga mendramatisir kejadian perkara korupsi. Ibarat menari-nari di atas bangkai saudara tanpa merasa risi, tanpa merasa bersalah, tanpa merasa malu. Pembawa berita berbasis tipikor tak ada bedanya dengan pembawa acara dan pengisi acara gosip, gunjing, ghibah. Artinya, acara, adegan, atraksi sampah malah menjadi favorit sekaligus mendongkrak peringkat yang artinya menambah arus masuk fulus.

Fakta bersejarah Polisi frontal amuk KPK, dikenal dengan episode Buaya vs Cicak, semakin membuktikan bahwa korupsi sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan, sistem penyelenggaraan negara.

Tanpa mengacu negara manapun, apakah itu negara yang merdekanya jauh tahun sebelum Proklamasi, apakah itu negara dengan jumlah penduduk lebih banyak daripada RI, apakah itu negara modern, maju – bukan urusan kita. Yang kita persoalkan apa faktor penyebab terjadinya tipikor.
- - - - - - - -
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senin, 22 Februari 2016, 13:06 WIB Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menunjukkan, berdasarkan survei tahun 2015 itu, Indeks Persepsi Antikorupsi masyarakat Indonesia (3,73) lebih tinggi ketimbang Indeks Pengalaman Antikorupsi (3,39). Dibandingkan tahun 2014, Indeks Persepsi Antikorupsi sebesar 3,71 poin, sedangkan Indeks Pengalaman Antikorupsi sebesar 3,49 poin. 

Bila ditilik dari tahun 2012 hingga 2015, ada tren peningkatan dalam hal Indeks Persepsi Antikorupsi. Sebaliknya, dalam periode yang sama, Indeks Pengalaman Antikorupsi trennya menurun. 

"Dengan kata lain, terkesan masyarakat semakin membenci korupsi (idealis) namun tidak sejalan dengan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari," ungkap Suryamin.
- - - - - - - -
Kita tidak tahu persis, apa ada kaitan antara negara multipartai dengan maraknya tipikor. Tak urung, parpol pendatang baru di periode 2014-2019 sudah berlangganan KPK. Bentuk korupsi, bentuk turunan korupsi sangat bervariasi. Bahkan antar pelaku bisa beda tata caranya.

Indonesia sebagai negara hukum, semakin banyak pasal anti korupsi ditetapkan, malah bagaikan sebagai memberi peluang, kesempatan, celah, terobosan, jalan pintas bagi (calon) pelaku tipikor. Memang pemeo lama bahwa hukum dibuat untuk dilanggar, tidak salah 100%. Terbukti, hukum tidak membuat jera (calon) pelaku tipikor. Sang koruptor yakin bahwa “pengorbanannya” sampai mendekam di lapas/rutan klas bintang, tak akan sia-sia. Semakin banyak rambu-rambu dipasang, malah menjadi pengingat bahwa di sini tempat subur untuk melakukan tipikor.

Akhir olah kata, andai KPK sampai hati membuka cabang hingga di kabupaten/kota, berarti Indonesia memang masuk negara rawan bencana korupsi. Walau wabah korupsi sudah merambah sampai tingkat kabupaten/kota, sejalan dengan lajunya otonomi daerah. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar