Halaman

Rabu, 02 Maret 2016

Wakil Rakyat Mlempem Mandul sebagai Pemacu Pemicu Gerakan Radikal

Wakil Rakyat Mlempem Mandul sebagai Pemacu Pemicu Gerakan Radikal

Bayangkan, pekerja/buruh saja yang punya Presiden, yaitu Presiden Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), masih gemar turun ke jalan. Urusan upah menjadi alasan utama pekerja/buruh melakukan unjuk rasa, unjuk raga di jalan, di tempat umum. Sasarannya adalah realisasi perwujudan Kebutuhan Hidup Manusiawi, yang disasar memang pemerintah (minimal pemerintah kabupaten/kota). Pasti salah sasaran, koq bukan pengusaha sebagai pihak pemberi upah yang dijadikan sasaran demo. Penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh seolah tidak berfungsi sebagaimana diharapkan.

Bayangkan, jika rakyat - walau mempunyai wakil rakyat secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai yang buka praktik di Senayan - masih mengidamkan bahkan keranjingan, ketagihan, doyan, suka melakukan aksi sendiri, melaksanakan tindakan sepihak, apa kata dunia. Apakah sebagai pertanda bahwa sistem perwakilan rakyat mandul, mlempen atau sebutan etis lainnya.

Berbagai kebijakan dan kejadian di tingkat lokal yang berdampak negatif pada kehidupan bermasyarakat, kalau menunggu tindak turun tangan pemerintah lokal, andai menanti partsipasi aparat, jika berharap rasa peduli, peka, tanggap wakil rakyat lokal, bisa-bisa bisa terlanjur sudah jadi arang, sudah jadi abu – baru pihak berwenang/berwajib merasa kebakaran jenggot.

Menyangkut urusan perut rakyat memang tanggung jawab keluarga, bukan tangung jawab wakil rakyat. Soal harga sembako yang mengikuti permintaan pasar, yang semakin tidak terjangkau oleh dompet rakyat, hanya sekedar menjadi keprihatinan formal wakil rakyat. Sebentar juga sudah terlupakan. Pokoknya yang tidak masuk agenda utama wakil rakyat, seolah bukan menjadi tanggung jawab mereka.

Ironis, menghadapi bencana alam pun, rakyat bisa diposisikan secara yuridis sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Membuang sampah bukan menyimpan sampah. Memanfaatkan bantaran sungai secara legal, turun temurun. Menggairahkan pasar lesehan kaki lima sampai masih tega-teganya menghidupkan pasar tradisional yang belum sempat terbakar. Pernik kehidupan rakyat yang mencampuradukkan bebagai pasal.

Jika rakyat menggeliat kepanasan, gerah hidup dalam tekanan berbagai pihak yang malah mengatasnamakan rakyat, malah mendapat stigma radikal.

Andai elemen rakyat, komponen masyarakat, unsur penduduk ber-aspirasi secara massal, sponta, sporadis, di jalanan, di ruang publik, di ruan terbuka hijau kalau ada, dengan enteng, tenang, tanpa pikir panjang, pihak berwajib/berwenang menganggap sebagai gerakan radikal.

Justru gerakan senyap, langkah flamboyan, bahaya laten, yang tak terendus para pengintai, pengintip, pengawas lapangan, begitu meledak, malah didaulat sebagai aksi sesuai HAM. Masih ditolerir, masih masuk batas kewajaran.

Apa beda antar radikal dengan revolusioner? Apakah revolusi mental sebagai pembungkus gerakan senyap para calon koruptor yang berasal dari partai politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar