radikalisasi anak bangsa akibat fluktuasi jiwa
politik Nusantara
Pengalaman
petani yang layak diterapkan dikehidupan berbangsa dan bernegara, dan khususnya
pantas diaplikasikan pada negara multi partai, yaitu adanya sifat busuk dan
pembusukan dimulai dari kepala, bukan dari ekornya. Ini baru satu sisi fakta
yang aktual.
Sisi lainnya
menyuratkan dan menyiratkan otentitas sejarah bahwa kita baru belajar
berpolitik. Masih suka berlatih mendirikan partai politik. Gemar menghafal
bagaimana mengikuti pesta demokrasi. Senang mengenal nikmatnya jadi ketua umum
partai politik. Hobi menghitung untung rugi jadi kepala daerah. Keranjingan menempatkan
diri sebagai wakil rakyat. Kecanduan memposisikan, mematut diri, merasa layak
dan patut menjadi kepala negera.
Sejarah mencatat, begitu kran demokrasi
terbuka deras, menjelang Pemilu 1999, warga negara mendirikan parpol dengan
tujuan pertama dan utama adalah agar bisa ikut pesta demokrasi. Indonesia
menjelma menjadi negara dengan sistem multi partai. Keberadaan parpol dalam
legislatif mendominasi kesimbangan dan sinerji trias politika. Sejak 2004
ketika pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, modus operandi parpol
semakin jauh dari semboyan pro-rakyat.
Petarung di panggung politik hanya mempunyai
satu niat, satu tekad bulat dan harga
mati yaitu ‘siap menang’. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak
dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai
arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemuli legislatif 9
April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa
ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen,
pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir
dengan korupsi atau turun di jalan sebelum jatuh tempo.
Bersyukur, bangsa ini mempunyai budaya dan mempraktikkan
ajaran tepo sliro yang tinggi. Jika
antar elit parpol tampak rukun, saling rangkul namun di akar rumput saling adu
dengkul. Atau sebaliknya, di akar rumput tetap saling rangkul, kendati di pucuk
pimpinan menu harian adalah saling adu
dengkul. Andai antara KIH dengan KMP, atau antara KP3 dengan di luarnya,
bersifat konfrontatif, bagaimana sikap mereka terhadap rakyat.
Bisa dikatakan jiwa politik kawanan parpolis yang sedang kontrak politik 2014-2019 masih masuk kategori labil. Jokowi tentu sudah menyadari sejak jadi wali kota Surakarta, siapa saja, pihak mana saja yang sesuai filosofi Jawa yaitu ojo gumunan, ojo kagetan, ojo getunan, ojo aleman. Artinya : jangan mudah terheran-heran; jangan mudah terkejut; jangan mudah menyesal; jangan mudah kolokan atau manja. Itu saja, sekian. [Haen]
Bisa dikatakan jiwa politik kawanan parpolis yang sedang kontrak politik 2014-2019 masih masuk kategori labil. Jokowi tentu sudah menyadari sejak jadi wali kota Surakarta, siapa saja, pihak mana saja yang sesuai filosofi Jawa yaitu ojo gumunan, ojo kagetan, ojo getunan, ojo aleman. Artinya : jangan mudah terheran-heran; jangan mudah terkejut; jangan mudah menyesal; jangan mudah kolokan atau manja. Itu saja, sekian. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar