Halaman

Rabu, 09 Maret 2016

radikalisasi anak bangsa akibat fluktuasi jiwa politik Nusantara

radikalisasi anak bangsa akibat fluktuasi jiwa politik Nusantara

Pengalaman petani yang layak diterapkan dikehidupan berbangsa dan bernegara, dan khususnya pantas diaplikasikan pada negara multi partai, yaitu adanya sifat busuk dan pembusukan dimulai dari kepala, bukan dari ekornya. Ini baru satu sisi fakta yang aktual.

Sisi lainnya menyuratkan dan menyiratkan otentitas sejarah bahwa kita baru belajar berpolitik. Masih suka berlatih mendirikan partai politik. Gemar menghafal bagaimana mengikuti pesta demokrasi. Senang mengenal nikmatnya jadi ketua umum partai politik. Hobi menghitung untung rugi jadi kepala daerah. Keranjingan menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Kecanduan memposisikan, mematut diri, merasa layak dan patut menjadi kepala negera.

Sejarah mencatat, begitu kran demokrasi terbuka deras, menjelang Pemilu 1999, warga negara mendirikan parpol dengan tujuan pertama dan utama adalah agar bisa ikut pesta demokrasi. Indonesia menjelma menjadi negara dengan sistem multi partai. Keberadaan parpol dalam legislatif mendominasi kesimbangan dan sinerji trias politika. Sejak 2004 ketika pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, modus operandi parpol semakin jauh dari semboyan pro-rakyat.

Petarung di panggung politik hanya mempunyai satu niat,  satu tekad bulat dan harga mati yaitu ‘siap menang’. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemuli legislatif 9 April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen, pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir dengan korupsi atau turun di jalan sebelum jatuh tempo.

Bersyukur, bangsa ini mempunyai budaya dan mempraktikkan ajaran  tepo sliro yang tinggi. Jika antar elit parpol tampak rukun, saling rangkul namun di akar rumput saling adu dengkul. Atau sebaliknya, di akar rumput tetap saling rangkul, kendati di pucuk pimpinan menu harian adalah  saling adu dengkul. Andai antara KIH dengan KMP, atau antara KP3 dengan di luarnya, bersifat konfrontatif, bagaimana sikap mereka terhadap rakyat.

Bisa dikatakan jiwa politik kawanan parpolis yang sedang kontrak politik 2014-2019 masih masuk kategori labil. Jokowi tentu sudah menyadari sejak jadi wali kota Surakarta, siapa saja, pihak mana saja yang sesuai filosofi Jawa yaitu ojo gumunan, ojo kagetan, ojo getunan, ojo aleman. Artinya : jangan mudah terheran-heran; jangan mudah terkejut; jangan mudah menyesal; jangan mudah kolokan atau manja. Itu saja, sekian. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar