dikotomi degradasi mental politik
bangsa, politik perempuan vs perempuan politik
Tanpa
mengajak pembaca berpolemik utawa adu fakta dan realita sejarah, bahwasanya
jika ada kepala daerah masuk kategori sukses. Minimal bisa menyelesaikan masa
jabatannya, satu periode, tanpa catatan khusus, khususnya yang melekat di daya
ingat rakyat, selain kandungan politiknya yang tidak diragukan daya cengkeramnya,
juga karena ybs bisa menempatkan diri sebagai birokrat tulen.
Terlebih
jika kepala daerah atau pasangannya ada kaum hawanya, prestasi yang diraih bisa
di atas rata-rata kaum adam. Begitu juga sebaliknya, jika terpuruk, akan lebih parah
ketimbang terkaparnya politik kaum adam. Kaum hawa menjadi kepala daerah atau
pasangannya, jika mengandalkan naluri perempuannya, dimungkinkan bekerja secara
naluriah, normatif, sloganistik, menghabiskan waktu, tepatnya hanya
sebatas adat business as usual.
Polemik
perempuan dalam politik, menurut pengamat politik lokal, akibat adanya anugerah
politik karena silsilah. Ada politik tiban yang menjadi nasib perempuan
mengemban kekuasaan. Matang di partai, bukan jaminan layak dan becus menjadi
pemimpin, apalagi berlaga, bertarung, mengadu untung di jalur birokrasi. Sejarah
tak terulis sudah banyak membuktikannya.
Perempuan
yang seolah cepat matang kandungan politiknya, akan terjebak dilema keuntungan
pribadi vs kepentingan politik. Kapasitas intelektual perempuan dalam politik,
sekedar persyaratan administrasi, formal dan umum sesuai konstitusi, tidak ada
korelasinya dengan kinerja yang bisa diciptakannya. Dipanggung politik, selain wajib
menggunakan bahasa politik, juga wajib menggunakan akal politik.
Akal
politik yang dikandung kepala negara yang perempuan sampai logika politik yang
dicerna kartini-kartini masa kini yang bergelut dan menggeluti kehidupan
bermodal dengkul, hanya beda tipis. Tergantung itikad baik dalam melaksanakan
kewajiban sebagai individu.
Acap
liwat di depan rumah saya, pemulung perempuan, yang bekerja masih tampak sifat
hawanya. Tidak serakah hanya melihat sampah di bak sampah. Tidak ambisi menyabet
benda-benda tak bertuan tergeletak di depan rumah warga. Tidak bergegas rebutan,
saingan, adu otot jika ada pemulung segender yang beroperasi di wilayah kerja
yang sama.
Peningkatan
kapasitas diri perempuan, memang tidak sekedar menjalani nasib kondratinya dengan
iklhlas, tabah saja, namun bisa meningkatkan martabat, hakikat, harkat, derajat
sebagai perempuan. Jika memaksakan diri, atau merasa dirinya pantas, layak,
patut tampil di syahwat politik Nusantara, harus sering-sering dan
pandai-pandai bercermin, berkava dan ukur baju. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar