Halaman

Selasa, 22 Maret 2016

dikotomi degradasi mental politik bangsa, politik perempuan vs perempuan politik

dikotomi degradasi mental politik bangsa, politik perempuan vs perempuan politik

Tanpa mengajak pembaca berpolemik utawa adu fakta dan realita sejarah, bahwasanya jika ada kepala daerah masuk kategori sukses. Minimal bisa menyelesaikan masa jabatannya, satu periode, tanpa catatan khusus, khususnya yang melekat di daya ingat rakyat, selain kandungan politiknya yang tidak diragukan daya cengkeramnya, juga karena ybs bisa menempatkan diri sebagai birokrat tulen.

Terlebih jika kepala daerah atau pasangannya ada kaum hawanya, prestasi yang diraih bisa di atas rata-rata kaum adam. Begitu juga sebaliknya, jika terpuruk, akan lebih parah ketimbang terkaparnya politik kaum adam. Kaum hawa menjadi kepala daerah atau pasangannya, jika mengandalkan naluri perempuannya, dimungkinkan bekerja secara naluriah, normatif, sloganistik, menghabiskan waktu, tepatnya hanya sebatas  adat business as usual.

Polemik perempuan dalam politik, menurut pengamat politik lokal, akibat adanya anugerah politik karena silsilah. Ada politik tiban yang menjadi nasib perempuan mengemban kekuasaan. Matang di partai, bukan jaminan layak dan becus menjadi pemimpin, apalagi berlaga, bertarung, mengadu untung di jalur birokrasi. Sejarah tak terulis sudah banyak membuktikannya.

Perempuan yang seolah cepat matang kandungan politiknya, akan terjebak dilema keuntungan pribadi vs kepentingan politik. Kapasitas intelektual perempuan dalam politik, sekedar persyaratan administrasi, formal dan umum sesuai konstitusi, tidak ada korelasinya dengan kinerja yang bisa diciptakannya. Dipanggung politik, selain wajib menggunakan bahasa politik, juga wajib menggunakan akal politik.

Akal politik yang dikandung kepala negara yang perempuan sampai logika politik yang dicerna kartini-kartini masa kini yang bergelut dan menggeluti kehidupan bermodal dengkul, hanya beda tipis. Tergantung itikad baik dalam melaksanakan kewajiban sebagai individu.

Acap liwat di depan rumah saya, pemulung perempuan, yang bekerja masih tampak sifat hawanya. Tidak serakah hanya melihat sampah di bak sampah. Tidak ambisi menyabet benda-benda tak bertuan tergeletak di depan rumah warga. Tidak bergegas rebutan, saingan, adu otot jika ada pemulung segender yang beroperasi di wilayah kerja yang sama.

Peningkatan kapasitas diri perempuan, memang tidak sekedar menjalani nasib kondratinya dengan iklhlas, tabah saja, namun bisa meningkatkan martabat, hakikat, harkat, derajat sebagai perempuan. Jika memaksakan diri, atau merasa dirinya pantas, layak, patut tampil di syahwat politik Nusantara, harus sering-sering dan pandai-pandai bercermin, berkava dan ukur baju. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar