Halaman

Sabtu, 19 Maret 2016

dibalik fakta revolusi mental, penguasa tunggal pdip vs alumni golkar vs dualisme ppp

dibalik fakta revolusi mental, penguasa tunggal pdip vs alumni golkar vs dualisme ppp

Rasionalisasi parpol di zaman Orde Baru, berlanjut secara informal di era pasca Reformasi. Mengapa orang begitu tega, ambisius mendirikan partai politik, tanpa mengukur kapasitas diri. Apa cuma mengandalkan massa loyalis, pengikut sampai relawan bayaran. Apa cuma menjagakan bisa bangun rumah partai sesuai syarat. Atau ada faktor terselubung yang tak etis disingkap dan diungkap, walau sudah terlanjur babak belur dan menjadi bubur. Mengapa manusia politik Nusantara begitu tega mengkangkangi partai seolah hak milik pribadi.

Revolusi mental semakin menjadikan syahwat politik menjadi menu harian.

Partai Golkar yang berjaya sebagai partai pemerintah, menjadi kendaraan politik presiden RI kedua, sehingga periode masa bhaktinya bisa diperpanjang melalui pemilu dan kehendak rakyat, berakhir dengan drastis tanap tepuk tangan. PG bukannya ditinggal lari loyalisnya, penggemarnya. Justru mereka ingin merdeka, berdaulat dan yang jelas tidak betah antri. Sisanya, yang masih bertahan, setelah Golkar menjadi parpol, menunjukkan watak aslinya. Banyak petualang politik, pebisnis politik, pecundang politik, bercokol didalamnya. Rekam jejak kader jangan dikaitkan dengan pasal hukum, norma kehidupan bermasyarakat, kode etik bagi yang sedang kontrak politik sebagai penyelenggara negara. Jangan disidik atau ditakar ukur dengan kaca mata moral.

PDIP, si moncong putih, fusi dari berbagai aliran ideologi, menjadikan dirinya bisa berbuat apa saja, layak melakukan apa saja, patut bertindak sesuai nalar, logika dan akal politiknya. Berita terakhir jabatan ketua umum tidak ada persyaratan umum maupun persyaratan khusus. PDIP menjelma menjadi perusahaan ideologi berbayar keluarga. Dibawah kendali, komando dan ketiak trah presiden RI pertama. Secara hukum dan bahasa politik tidak ada yang salah dan layak dipersalahkan. Modus operandi dan daya juang komunitas, sejauh ini aman-aman saja, baik-baik saja. Karena sibuk mempraktikkan revolusi mental, sebagai andalan politik. Skenario politiknya tergantung pesan sponsor, penyandang dana, pemodal dan order konspirasi non-lokal dan non-nasional.

PPP menjadi ajang, wahana dan sarana memajukan diri sekaligus mensejahterakan diri. Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Terbukti mampu melahirkan parpol dengan landasan ideologi “sama tak serupa, seraut tak sewajah”. Yang penting gocekannya. Pelaku politik PPP dan parpol sempalannya ditambah ormas Islam, menjadikan politik sebagai tujuan, bukan cara. Kalau bisa diibaratkan, toleransi politik umat Islam, atau semangat ukhuwah antar parpol berbasis Islam, atau hubungan kemanfaatan antara parpol berbasis Islam dengan ormas Islam, malah menjadikan kaki kiri menginjak kaki kanan. Acap atau terkadang kaki kiri menjegal kaki kanan. Opo tumon. Akhirnya, kaki kiri dengan kaki kanan saling mencurigai, saling “jaga jarak”. Opo tumo tenan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar