dibalik fakta
revolusi mental, penguasa tunggal pdip vs alumni golkar vs dualisme ppp
Rasionalisasi
parpol di zaman Orde Baru, berlanjut secara informal di era pasca Reformasi.
Mengapa orang begitu tega, ambisius mendirikan partai politik, tanpa mengukur
kapasitas diri. Apa cuma mengandalkan massa loyalis, pengikut sampai relawan
bayaran. Apa cuma menjagakan bisa bangun rumah partai sesuai syarat. Atau ada
faktor terselubung yang tak etis disingkap dan diungkap, walau sudah terlanjur babak
belur dan menjadi bubur. Mengapa manusia politik Nusantara begitu tega
mengkangkangi partai seolah hak milik pribadi.
Revolusi
mental semakin menjadikan syahwat politik menjadi menu harian.
Partai
Golkar yang berjaya sebagai partai pemerintah, menjadi kendaraan politik
presiden RI kedua, sehingga periode masa bhaktinya bisa diperpanjang melalui
pemilu dan kehendak rakyat, berakhir dengan drastis tanap tepuk tangan. PG
bukannya ditinggal lari loyalisnya, penggemarnya. Justru mereka ingin merdeka,
berdaulat dan yang jelas tidak betah antri. Sisanya, yang masih bertahan,
setelah Golkar menjadi parpol, menunjukkan watak aslinya. Banyak petualang politik,
pebisnis politik, pecundang politik, bercokol didalamnya. Rekam jejak kader
jangan dikaitkan dengan pasal hukum, norma kehidupan bermasyarakat, kode etik
bagi yang sedang kontrak politik sebagai penyelenggara negara. Jangan disidik
atau ditakar ukur dengan kaca mata moral.
PDIP,
si moncong putih, fusi dari berbagai aliran ideologi, menjadikan dirinya bisa
berbuat apa saja, layak melakukan apa saja, patut bertindak sesuai nalar,
logika dan akal politiknya. Berita terakhir jabatan ketua umum tidak ada
persyaratan umum maupun persyaratan khusus. PDIP menjelma menjadi perusahaan
ideologi berbayar keluarga. Dibawah kendali, komando dan ketiak trah presiden
RI pertama. Secara hukum dan bahasa politik tidak ada yang salah dan layak
dipersalahkan. Modus operandi dan daya juang komunitas, sejauh ini aman-aman
saja, baik-baik saja. Karena sibuk mempraktikkan revolusi mental, sebagai
andalan politik. Skenario politiknya tergantung pesan sponsor, penyandang dana,
pemodal dan order konspirasi non-lokal dan non-nasional.
PPP
menjadi ajang, wahana dan sarana memajukan diri sekaligus mensejahterakan diri.
Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Terbukti mampu melahirkan
parpol dengan landasan ideologi “sama tak serupa, seraut tak sewajah”. Yang
penting gocekannya. Pelaku politik PPP dan parpol sempalannya ditambah ormas
Islam, menjadikan politik sebagai tujuan, bukan cara. Kalau bisa diibaratkan, toleransi
politik umat Islam, atau semangat ukhuwah antar parpol berbasis Islam, atau hubungan
kemanfaatan antara parpol berbasis Islam dengan ormas Islam, malah menjadikan
kaki kiri menginjak kaki kanan. Acap atau terkadang kaki kiri menjegal kaki
kanan. Opo tumon. Akhirnya, kaki kiri dengan kaki kanan saling
mencurigai, saling “jaga jarak”. Opo tumo tenan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar