dikotomi
revolusi mental, konsolidasi politik vs konsolidasi birokrasi
Sistem
politik Nusantara semakin membuka kesempatan emas dan memberi peluang kepada
orang politik untuk mendapat jatah gratis kue nasional. Jalur legislatif yang
merupakan jatah mutlak kawanan parpolis, dirasa masih kurang. Berada di jalur
manakah Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Kursi di eksekutif yang masuk kategori
pembantu presiden menjadi sasaran empuk.
Tidak
ada salahnya jika kader tulen partai takut berlaga di pilkada. Alasan yang
diajukan karena tidak mendapat restu ketua umum partai. Sebaliknya, ketua umum
merasa jika jagonya maju, malah dipermalukan di mata rakyat. Partai punya cara
lain dengan mencari calon pemain berbakat. Tapi tidak perlu blusukan, kunker,
sidak ke pertandingan kesebelasan tarkam (antar kampung). Cukup mengandalkan
pengendusan di media massa. Ada calon berbakat, tangkap, dipoles, diberi busana
dan atribut kebesaran partai, sudah layak dianggap petugas, kurir, suruhan
partai.
Kader
partai yang masih punya sisa nyali, merasa punya modal politik, maju di
pemilihan legislatif yang digelar lima tahun sekali. Merambah dari wakil rakyat
di tingkat kabupaten/kota, begitu cita-cita skenario politiknya. Sisanya, kader
partai yang duduk manis di teras partai, adem ayem, merasa akan dapat jatah
kursi di jajaran pembantu presiden. Yang disebutkan terakhir, bukan rahasia
umum, dan selalu terbukti disetiap periode. Cuma di periode 2014-2019 mencolok
sekali, malah membuktikan bahwa partai tidak mampu melakukan pengkaderan.
Partai terjebak paham politik sistem famili.
Gaduh
kabinet revolusi mental Jokowi-JK akibat petualang politik gregetan melihat
gerbong politik yang sibuk urusan politik. Kementerian yang mengandalkan sistem
karier ikut-ikutan irama gendang politik. Kondisi ini terbangun sejak era
presiden RI kelima. Dapat disimpulkan jika birokrasi direcoki orang politik,
tak urung biaya politik menjadi dasar penyusunan anggaran, menjadi acuan utama
saat menyusun rencana kerja dan anggaran.
Bukan
berarti kabinet harus steril dari orang politik. Masalahnya, jiwa orang politik
sudah kontrak mati dengan partai, perjalanan atau karier politiknya ditentukan
oleh kebijakan partai. Jika Jokowi-JK merombak kabinetnya, tentu tidak memakai
pertimbangan politis. Kalau dipakai, bisa menjadi bumerang politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar