Halaman

Selasa, 15 Maret 2016

dikotomi revolusi mental, konsolidasi politik vs konsolidasi birokrasi

dikotomi revolusi mental, konsolidasi politik vs konsolidasi birokrasi

Sistem politik Nusantara semakin membuka kesempatan emas dan memberi peluang kepada orang politik untuk mendapat jatah gratis kue nasional. Jalur legislatif yang merupakan jatah mutlak kawanan parpolis, dirasa masih kurang. Berada di jalur manakah Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Kursi di eksekutif yang masuk kategori pembantu presiden menjadi sasaran empuk.

Tidak ada salahnya jika kader tulen partai takut berlaga di pilkada. Alasan yang diajukan karena tidak mendapat restu ketua umum partai. Sebaliknya, ketua umum merasa jika jagonya maju, malah dipermalukan di mata rakyat. Partai punya cara lain dengan mencari calon pemain berbakat. Tapi tidak perlu blusukan, kunker, sidak ke pertandingan kesebelasan tarkam (antar kampung). Cukup mengandalkan pengendusan di media massa. Ada calon berbakat, tangkap, dipoles, diberi busana dan atribut kebesaran partai, sudah layak dianggap petugas, kurir, suruhan partai.

Kader partai yang masih punya sisa nyali, merasa punya modal politik, maju di pemilihan legislatif yang digelar lima tahun sekali. Merambah dari wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, begitu cita-cita skenario politiknya. Sisanya, kader partai yang duduk manis di teras partai, adem ayem, merasa akan dapat jatah kursi di jajaran pembantu presiden. Yang disebutkan terakhir, bukan rahasia umum, dan selalu terbukti disetiap periode. Cuma di periode 2014-2019 mencolok sekali, malah membuktikan bahwa partai tidak mampu melakukan pengkaderan. Partai terjebak paham politik sistem famili.

Gaduh kabinet revolusi mental Jokowi-JK akibat petualang politik gregetan melihat gerbong politik yang sibuk urusan politik. Kementerian yang mengandalkan sistem karier ikut-ikutan irama gendang politik. Kondisi ini terbangun sejak era presiden RI kelima. Dapat disimpulkan jika birokrasi direcoki orang politik, tak urung biaya politik menjadi dasar penyusunan anggaran, menjadi acuan utama saat menyusun rencana kerja dan anggaran.

Bukan berarti kabinet harus steril dari orang politik. Masalahnya, jiwa orang politik sudah kontrak mati dengan partai, perjalanan atau karier politiknya ditentukan oleh kebijakan partai. Jika Jokowi-JK merombak kabinetnya, tentu tidak memakai pertimbangan politis. Kalau dipakai, bisa menjadi bumerang politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar