Halaman

Kamis, 10 Maret 2016

dilema bangsa Indonesia, tersandera ideologi Rp vs terjebak arus globalisasi

dilema bangsa Indonesia, tersandera ideologi Rp vs terjebak arus globalisasi

Jebakan Dunia
Fiman Allah yang berlaku sepanjang zaman,  diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] :  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”

Walhasil, sampai detik ini, saat olah kata ini disusun, postur anak bangsa kelihatannya masih Indonesia, walau ada yang potongan rambut dan warna rambut melambangkan isi kepalanya, tetapi jiwanya sudah berskala dunia. Zaman Orde Baru, istilah kebarat-baratan masih melekat, karena sisa gaya hidup penjajah Belanda. Makan roti diolesi mentega sebagai lambang imperialis. Bahkan masih ada rakyat yang mahir berbahasa Belanda. Sekarang mewabah raga Indonesia, jiwa asing.

Peradaban Nusantara pasca Reformasi 21 Mei 1998,  bergulir ke berbagai penjuru, arah dan tujuan tanpa terkendali.  Yang namanya musuh bersama yaitu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, seolah terlupakan secara formal.

Muncul hasrat agar lepas dari kategori orang miskin, keluarga pra-sejahtera, masyarakat berpenghasilan harian dengan mendirikan partai politik. Atau minimal nebeng, ndompleng parpol yang sedang didirikan.

Timbul minat supaya tak menyandang gelar “kurang pendidikan”, ujung-ujungnya sudah tersedia kampus bodong, abal-abal. Ijazah bisa dipesan dengan tampilan standar perguruan tinggi negeri. Gelar akademis secara sah, legal, formal dan prestisius bisa dideretkan di depan atau di bekalang nama sendiri, mendongkrak martabat dan harga diri.

Bangkit selera biar tampak eksis luar dalam, jauh dari norma serba belakang, malah mewujudkan kawanan parpolis berani malu. Terseok dalam lomba pesta demokrasi, tanpa malu menyalahkan pihak lawan. Tak betah dalam antrian menjadi ketua umum parpol, tanpa sungkan mengajukan dirinya. Banyak yang merasa bisa berada dipaling depan, dibarisan depan.

Di era Reformasi, masuk jajaran sebagai penyelenggara negara, hanya sebatas dilihat hal kekuasaan/kewenangnya saja. Ikatan moral yang diterjemahkan sebagai kontrak politik, hanya syarat pasal duniawi dan sanksi hukum dunia.

Bom Waktu Politik
Peran negarawan tidak terikat oleh jabatan periodik, bahkan lebih bebas kalau berada di belakang layar. Daya pikirnya lebih dibutuhkan daripada daya pikatnya dalam gosip politik. Maaf Bung, apakah Indonesia paceklik negarawan atau bahkan surplus negarawan. Kata yang empunya cerita, di dunia pewayangan kita jelas-jelas punya biang kerok bertajuk méga-rawan.

Konkretnya, masyarakat bahkan orang parpol susah membedakan antara kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh kepala negara. Gaji presiden bukan sebagai daya tarik, tetapi pada bagaimana mengelola kekuasaan/kewenangannya.

Makna kepentingan negara bisa merupakan kutub yang berbeda, bahkan bisa berlawanan dengan kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai sendi kehidupan, seolah rakyat dibiarkan berjuang sendiri, berjuang menentukan nasib dan masa depannya. Domain, kutub, atau mazhab berbangsa dan bernegara bisa bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat.

Biaya politik, mahar politik untuk masuk jajaran sebagai penyelengara negara bisa jadi bom waktu bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Kaum Penghamba
Diberlakukannya pasal hina presiden yang berakibat sanksi hukum, semangkin mempertegas dengan fakta betapa malah ada kelakukan, perilaku, penampakan presiden diberbagai acara yang tidak membawakan dirinya sebagai presiden.

Ironis, diberbagai acara kenegaraan malah presiden memposisikan dirinya sebagai pengkatrol atau pendérék sang juragan. Anak juragan saja dapat posisi bebas, bisa dimana saja, kapan saja, mau apa saja.

Andai industri Nusantara mengandalkan dan mengutamakan kandungan lokal unsur manajemennya, dengan mahzab tradisional, seperti industri rumah tangga, usaha sampingan ibu rumga, koperasi maju mundur, pengerajin, maupun UKM  berorientasi ekspor.

Akibat taat asas perdagangan bebas dunia, kerja sama ekonomi ASEAN-Tiongkok, dampaknya pengadaan bahan baku yang paling sederhana pun harus tergantung belas kasihan pihak aseng/asing. Kondisi ini menjadikan industri lokal menjadi mati suri, hidup segan mati tak mau, bisa MPP (mati pelan-pelan). Pengusaha pribumi bisa gulung tikar secara sistematis, masif, berkelanjutan. Tanpa mengalami penyegelan. Tanpa dukungan kepastian hukum. Tanpa perlu PHK. Antar pengusaha dan pekerja/buruh terjadi “tahu saling tahu”.

Jangan lupa, terkadang antara pekerja/buruh dengan wakil rakyat di Senayan terdapat persamaan mendasar, yaitu sama-sama ‘ahli menuntut’. Bedanya, wakil rakyat terikat kontrak politik lima tahun. Pekerja/buruh siap putus kontrak (PHK) kapan pun. [HaeN]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar