dilema bangsa Indonesia, tersandera ideologi
Rp vs terjebak arus globalisasi
Jebakan Dunia
Fiman Allah yang berlaku sepanjang zaman, diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] : “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Walhasil, sampai detik ini, saat olah kata ini disusun,
postur anak bangsa kelihatannya masih Indonesia, walau ada yang potongan rambut
dan warna rambut melambangkan isi kepalanya, tetapi jiwanya sudah berskala
dunia. Zaman Orde Baru, istilah kebarat-baratan masih melekat, karena sisa gaya
hidup penjajah Belanda. Makan roti diolesi mentega sebagai lambang imperialis. Bahkan
masih ada rakyat yang mahir berbahasa Belanda. Sekarang mewabah raga Indonesia,
jiwa asing.
Peradaban Nusantara pasca Reformasi 21 Mei 1998, bergulir ke berbagai penjuru, arah dan tujuan
tanpa terkendali. Yang namanya musuh
bersama yaitu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, seolah terlupakan secara
formal.
Muncul hasrat agar lepas dari kategori orang miskin,
keluarga pra-sejahtera, masyarakat berpenghasilan harian dengan mendirikan
partai politik. Atau minimal nebeng, ndompleng parpol yang sedang
didirikan.
Timbul minat supaya tak menyandang gelar “kurang
pendidikan”, ujung-ujungnya sudah tersedia kampus bodong, abal-abal. Ijazah
bisa dipesan dengan tampilan standar perguruan tinggi negeri. Gelar akademis
secara sah, legal, formal dan prestisius bisa dideretkan di depan atau di
bekalang nama sendiri, mendongkrak martabat dan harga diri.
Bangkit selera biar tampak eksis luar dalam, jauh dari
norma serba belakang, malah mewujudkan kawanan parpolis berani malu. Terseok
dalam lomba pesta demokrasi, tanpa malu menyalahkan pihak lawan. Tak betah
dalam antrian menjadi ketua umum parpol, tanpa sungkan mengajukan dirinya. Banyak
yang merasa bisa berada dipaling depan, dibarisan depan.
Di era Reformasi, masuk jajaran sebagai penyelenggara
negara, hanya sebatas dilihat hal kekuasaan/kewenangnya saja. Ikatan moral yang
diterjemahkan sebagai kontrak politik, hanya syarat pasal duniawi dan sanksi
hukum dunia.
Bom Waktu Politik
Peran negarawan tidak
terikat oleh jabatan periodik, bahkan lebih bebas kalau berada di belakang
layar. Daya pikirnya lebih dibutuhkan daripada daya pikatnya dalam gosip
politik. Maaf Bung, apakah Indonesia paceklik negarawan atau bahkan surplus
negarawan. Kata yang empunya cerita, di dunia pewayangan kita jelas-jelas punya
biang kerok bertajuk méga-rawan.
Konkretnya,
masyarakat bahkan orang parpol susah membedakan antara kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki oleh kepala negara. Gaji presiden bukan sebagai daya tarik,
tetapi pada bagaimana mengelola kekuasaan/kewenangannya.
Makna
kepentingan negara bisa merupakan kutub yang berbeda, bahkan bisa berlawanan
dengan kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai sendi kehidupan, seolah rakyat
dibiarkan berjuang sendiri, berjuang menentukan nasib dan masa depannya. Domain,
kutub, atau mazhab berbangsa dan bernegara bisa bertolak belakang dengan
kesejahteraan rakyat.
Biaya
politik, mahar politik untuk masuk jajaran sebagai penyelengara negara bisa
jadi bom waktu bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Kaum Penghamba
Diberlakukannya
pasal hina presiden yang berakibat sanksi hukum, semangkin mempertegas dengan
fakta betapa malah ada kelakukan, perilaku, penampakan presiden diberbagai
acara yang tidak membawakan dirinya sebagai presiden.
Ironis,
diberbagai acara kenegaraan malah presiden memposisikan dirinya sebagai pengkatrol
atau pendérék sang juragan. Anak juragan saja
dapat posisi bebas, bisa dimana saja, kapan saja, mau apa saja.
Andai
industri Nusantara mengandalkan dan mengutamakan kandungan lokal unsur
manajemennya, dengan mahzab tradisional, seperti industri rumah tangga, usaha
sampingan ibu rumga, koperasi maju mundur, pengerajin, maupun UKM berorientasi ekspor.
Akibat taat
asas perdagangan bebas dunia, kerja sama ekonomi ASEAN-Tiongkok, dampaknya
pengadaan bahan baku yang paling sederhana pun harus tergantung belas kasihan
pihak aseng/asing. Kondisi ini menjadikan industri lokal menjadi mati suri, hidup
segan mati tak mau, bisa MPP (mati pelan-pelan). Pengusaha pribumi bisa gulung
tikar secara sistematis, masif, berkelanjutan. Tanpa mengalami penyegelan. Tanpa
dukungan kepastian hukum. Tanpa perlu PHK. Antar pengusaha dan pekerja/buruh
terjadi “tahu saling tahu”.
Jangan lupa,
terkadang antara pekerja/buruh dengan wakil rakyat di Senayan terdapat
persamaan mendasar, yaitu sama-sama ‘ahli
menuntut’. Bedanya, wakil rakyat terikat kontrak politik lima
tahun. Pekerja/buruh siap putus kontrak (PHK) kapan pun. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar