Halaman

Senin, 14 Maret 2016

“Kayaknya, pensiunan yang ke masjid bukan mantan pejabat Pak”

“Kayaknya, pensiunan yang ke masjid bukan mantan pejabat Pak”
  
Pagi itu, ahad di bulan berhujan, saya jalan kaki cepat menyelusuri jalan di komplek perumahan. Selain bakar kalori dengan cara sederhana, sambil melihat kesibukan warga. Jalannya sepi, bebas polusi sehingga bisa jalan sesuai rambu lalu lintas. Kondisi jam kerja, disalip mobil dan motor, meninggalkan asap knalpot yang tak kenal kompromi dengan pejalan kaki. Warga yang sibuk di jalan depan rumahnya, bukan untuk berjemur, melainkan sibuk dengan sangkar burung.

Pulangnya saya mampir ke Balai Warga. Tukang jaga pintu air tampak termangu diam. Sepeda siap kayuh tak jauh diparkir dekat gardu jaga. Tanpa jam kerja yang pasti, yang pasti jika hujan lama harus kontrol pintu air. Sambil ngobrol ternyata jika orang yang liwat banyak yang menyapanya. Penampilannya mirip orang kampung, karena memang penduduk asli setempat. Usianya seusia Ketua RW, katanya. Dia cerita kalau belum pernah lihat pak RW berangkat kerja. Pak RW nyaris tiap malam begadang sambil temu warga, entah blusukan, entah kunjungan kerja.

Percakapan kami semakin lancar, selain karena saya tanya dukanya tangani pintu air, juga karena saya anggap dia kenal lingkungan, kenal atau dikenal warga. Lugunya menjadikan dia tak pernah berkoar tentang pengalamannya atur buka tutu pintu air. Bekerja di saat hujan menjadi dirinya.

Antara Balai RW dengan masjid terdapat dua blok rumah. Rumah pojok di dua blok tersebut, dibongkar total dan dibangun bertingkat. Rumah pojok dekat masjid, nyaris tanpa halaman, walau ada penghijauan. Dua garasi, kesamping dan kedepan rumah. Bisa menampung 4 mobil. Terkadang masih ada mobil parkir di luar. Rumah tingkat di blok dekat gardu, mengarah kedepan saja. Halaman samping kanan berfungsi sebagai garasi terbuka.

Percakapan semakin menarik, ketika saya tanya ada satpam yang jaga rumah dekat masjid.

“Itu satpam RT pak. Itu rumah baru, rumahnya pak jaksa, orang Sunda. Harusnya satpam keliling, malah tidur di kursi.” Pembicaraan diselingi menjawab sapa orang yang liwat.

“Itu satpam, pernah ditanya pak Jaksa, apa ada pegawai kehakiman atau jaksa yang tinggal di komplek kita.”, jelas pak tukang jaga air. Melihat raut mukanya yang memang udik atau khas penduduk lokal, sepertinya mau bercerita banyak. Penjual sayur liwat, menyapanya. Ada juga yang datang, tanya alamat.

“Yang biki saya gedeg, mosok satpam malah jawab, yang ke masjid kebanyakan orang tua. Ada yang saya kenal, pensiunan, kayaknya bukan mantan pejabat pak.”

Langsung saya jadi pendengar setia atas luapan emosi ringan pak tukang jaga pintu air RW. Sesekali merespon sambil memberi umpan, agar tambah semangat berceritanya. Hasil dialog santai, ada beberapa omongan dia yang patut kita renungkan. Bagi saya, satpam RT yang satu kampung dengan tukang jaga pintu air, jawabannya atau pernyataannya tidak sesederhana wajahnya. Banyak aspek yang tersirat.

Petama, apakah pensiunan mantan pejabat, yang sudah berkecukupan lahir batin, tidak perlu ke masjid. Atau walau pensiun, kesibukan masih lanjut dengan berbagai urusan. Jam kerjanya masih seperti waktu aktif. Sehingga tetap tidak punya waktu ke masjid.

Kedua, sebagai masjid di dalam komplek, banyak jamaah datang berjalan kaki. Busana yang dikenakan menyesuaikan dengan ibadah sholat. Bahkan ibu-ibu datang siap sholat, memakai mukena dari rumah. Bagi pensiunan, ke masjid bukan karena masuk kategori orang susah (kata tukang jaga air), ada suatu nilai agama yang dijalankan. Tentunya, bukan juga karena memiliki waktu luang yang cukup banyak dan lega.

Ketiga, warga komplek yang heterogen, dari berbagai profesi, disipilin ilmu, pekerjaan, mata pencaharian, memang bisa mencetak pensiunan (apalagi mantan pejabat) yang berpola jaim (jaga imej). Ke masjid bisa-bisa sesuai kebiasaan dulu yaitu seminggu sekali, pas hari jumat. Tak kurang jamaah karena usia naik tangga ke masjid di lantai dua, harus berjuang. Tetap dilakoni dengan sabar dan tekun.

Jadi, satpam RT yang tampak sederhana, ternyata jawaban atau penyataannya tidak sederhana. Mungkin karena kenal lingkungan dan tahu warga, menjadikannya mempunyai rekaman atas perilaku warga. Jawabannya sebagai refleksi atas sepengetahuan dirinya tentang karakter warga. Diwujudkan dengan bahasa yang saya anggap cukup komunikatif dan menggelitik. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar