dinamika politik menjajah bangsa
sendiri
Doeloe,
pejoeang republik berani mati, mempertahankan NKRI yang baru beberapa tahun
merdeka. Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, tanpa komando, rakyat bersatu dengan
satu tujuan. Mempertahankan kedaulatan negara dari sisa penjajahan dan
rongrongan dalam negeri.
Sekarang,
para petarung politik, menjadi dua kutub yang kontradiktif. Kutub pertama,
pemain dan pelaku politik yang siap ‘pejah gesang nderek’ ketua umum
partai politik. Orang partai wajib patut dan layak tunduk pada kebijakan
partai. Total loyal, tanpa harus berfikir, kepada ketua umum partai. Wewenang
ketum partai sebagai penentu kader, di internal partai dan terlebih saat
menjadi petugas, pesuruh, kurir partai untuk menjadi penyelenggara negara.
Demikian
kewenangan ketum partai, terlebih partai juara umum pesta demokrasi dengan
pileg dan pilpres-nya. Ketua umum serta merta memposisikan dirinya sebagai
presiden senior. Merasa kedudukannya di atas kepala negara yang merupakan
pegawai partai yang diasuhnya.
Kutub
lainnya, atau kutub kedua, tidak bisa disimpulkan seberapa kewenangan ketua
umum partai. Minimal membuktikan jabatan ketum partai sebagai jabatan
prestisius, prospektus dan serba menjanjikan. Sebagai syarat umum, syarat
administrasi mendaftarkan diri sebagai calon presiden.
Celakanya,
dua kutub tadi dalam praktiknya hanya sebagai syarat sebuah demokrasi
perwakilan, demokrasi keterwakilan. Rakyat berjibaku mengurus urusan dapur
keluarga/rumah tangganya agat tetap mengepul. Pihak lain, kawanan parpolis yang
magang sebagai penyelenggara negara liwat kontrak politik lima tahunan, seolah
sibuk mengurus urusan dapur negara agar tetap berasap.
Pasca
Reformasi 21 Mei 1998, perjuangan kawanan parpolis sampai tingkat lokal, malah
menjelma menjadi penjajah bangsa sendiri. Pelaku tipikor yang lahir dari rahim
partai. Masih banyak lagi fakta yang luput dari pemberitaan.[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar