Halaman

Rabu, 30 Maret 2016

dinamika politik menjajah bangsa sendiri

dinamika politik menjajah bangsa sendiri

Doeloe, pejoeang republik berani mati, mempertahankan NKRI yang baru beberapa tahun merdeka. Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, tanpa komando, rakyat bersatu dengan satu tujuan. Mempertahankan kedaulatan negara dari sisa penjajahan dan rongrongan dalam negeri.

Sekarang, para petarung politik, menjadi dua kutub yang kontradiktif. Kutub pertama, pemain dan pelaku politik yang siap ‘pejah gesang nderek’ ketua umum partai politik. Orang partai wajib patut dan layak tunduk pada kebijakan partai. Total loyal, tanpa harus berfikir, kepada ketua umum partai. Wewenang ketum partai sebagai penentu kader, di internal partai dan terlebih saat menjadi petugas, pesuruh, kurir partai untuk menjadi penyelenggara negara.

Demikian kewenangan ketum partai, terlebih partai juara umum pesta demokrasi dengan pileg dan pilpres-nya. Ketua umum serta merta memposisikan dirinya sebagai presiden senior. Merasa kedudukannya di atas kepala negara yang merupakan pegawai partai yang diasuhnya.

Kutub lainnya, atau kutub kedua, tidak bisa disimpulkan seberapa kewenangan ketua umum partai. Minimal membuktikan jabatan ketum partai sebagai jabatan prestisius, prospektus dan serba menjanjikan. Sebagai syarat umum, syarat administrasi mendaftarkan diri sebagai calon presiden.

Celakanya, dua kutub tadi dalam praktiknya hanya sebagai syarat sebuah demokrasi perwakilan, demokrasi keterwakilan. Rakyat berjibaku mengurus urusan dapur keluarga/rumah tangganya agat tetap mengepul. Pihak lain, kawanan parpolis yang magang sebagai penyelenggara negara liwat kontrak politik lima tahunan, seolah sibuk mengurus urusan dapur negara agar tetap berasap.

Pasca Reformasi 21 Mei 1998, perjuangan kawanan parpolis sampai tingkat lokal, malah menjelma menjadi penjajah bangsa sendiri. Pelaku tipikor yang lahir dari rahim partai. Masih banyak lagi fakta yang luput dari pemberitaan.[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar