Wong Jawa kok dikadali
Agar
mempunyai persamaan persepsi, satu bahasa, khususnya untuk menghindarkan diri
dari sia-sia buang kata, kita simak lema
: stereotip 1 a berbentuk tetap; berbentuk klise: pernyataan
yg --; 2 n konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan
prasangka yg subjektif dan tidak tepat – yang tersurat di Kamus Bahasa Indonesia,
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Kita
mendadak lupa sejarah, betapa dakwah Islam dan agama Islam yang dibawakan para
wali, yang dikenal dengan Wali Songo atau Wali Sembilan, gemilang di pulau
Jawa, khususnya di kalangan wong Jawa, karena pendekatan budaya.
Dakwah
kultural untuk menghindari konflik frontal dengan penganut agama bumi yang sedang
dalam masa kemampanan. Budaya penjajah, gaya hidup ala orang barat, sudah
menjadi gaya hidup masyarakat saat itu. Bangsawan dalam lingkungan keraton dan
rakyat jelata yang tersebar bebas, tak bisa lepas dari kontaminasi dan dampak
negatif budaya barat, yang notabene tak sesuai dengan norma orang timur.
Wong
Jawa nyaris terbuai dengan asas kebebasan yang dibawa penjajah, yang semakin
menyuburkan penyakit masyarakat berjudul mo-limo atau 5M. Takut salah,
apa itu berjudul mo-limo atau 5M, sengaja tidak dipaparkan. Ekses jangka
panjang mo-limo atau 5M yang mengilhami, menginspirasi perilaku LGBT,
bukan wewenang penulis untuk membeberkannya.
Perjalanan
watak wong Jawa yang masih mengandalkan daya juang ruang batinnya, mampu
mempraktikan syari’at, thariqat dan hakikat Islam secara total, bunder
kepleng, ireng tunteng. Wong Jawa yang bahkan merantau sebagai transmigran,
sampai ke negeri orang, tidak serta merta berbaur total dengan lingkungan
barunya. Wong Jawa yang tanpa sayap mampu melanglang buana, tetap eksis
ke-Jawa-annya.
Ruang
batin wong Jawa mampu memindai, menengarai siapa saja yang bermaksud tertentu
dengan dirinya. Bukan sekedar “weruh sakdurunge winarah” atau bisa juga
dapat memakai siasat “ngeli nanging ora keli”. Daya rasa wong Jawa yang memakai ramuan asah,
asih, asuh, menyebabkan mampu berada di mana saja, bergaul dengan siapa saja.
Wong
Jawa melakoni hidup dengan posisi walau sebagai “abdi”, tetap dijalankan tanpa
banyak tanya. Menerima kenyataan hidup
sebagai tantangan yang harus dihadapi secara total. Ambisi wong Jawa sudah
diwakili semboyan “mangan ora mangan, sing penting kumpul”.
Jika
saat ini, 2014-2019, ada wong Jawa mendapat amanah sebagai “abdi negara” atau bahasa
politiknya adalah kepala negara.
Jika
ada partai politik yang jargonnya partainya wong cilik, namun atau tepatnya dibawah kendali,
komando, ketiak komunitas wong
licik, serta mengganggap kepala negara sebagai suruhan parpol, pekerja
parpol, pegawai parpol, kurir parpol, dan seabrek jargon – yang terjadi justru
sebaliknya, parpol menjadi kendaraan politik sang kepala negara.
Kita
masih merasakan sisa nafas dan bau keringat Orde Baru, namun mengapa kita
begitu cepat melupakan fakta bahwa Suharto bisa awet menjadi penguasa tunggal
selama lebih dari tiga dasar warsa atau 6 kali pemilu, berkat sukses menjadikan
Golkar sebagai kendaraan politik. Tidak perlu mendirikan parpol utawa menjadi
ketua umum parpol. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar