Halaman

Senin, 28 Maret 2016

Wong Jawa kok dikadali

Wong Jawa kok dikadali

Agar mempunyai persamaan persepsi, satu bahasa, khususnya untuk menghindarkan diri dari sia-sia buang kata,  kita simak lema : stereotip 1 a berbentuk tetap; berbentuk klise: pernyataan yg --; 2 n konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yg subjektif dan tidak tepat – yang tersurat di Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Kita mendadak lupa sejarah, betapa dakwah Islam dan agama Islam yang dibawakan para wali, yang dikenal dengan Wali Songo atau Wali Sembilan, gemilang di pulau Jawa, khususnya di kalangan wong Jawa, karena pendekatan budaya.

Dakwah kultural untuk menghindari konflik frontal dengan penganut agama bumi yang sedang dalam masa kemampanan. Budaya penjajah, gaya hidup ala orang barat, sudah menjadi gaya hidup masyarakat saat itu. Bangsawan dalam lingkungan keraton dan rakyat jelata yang tersebar bebas, tak bisa lepas dari kontaminasi dan dampak negatif budaya barat, yang notabene tak sesuai dengan norma orang timur.

Wong Jawa nyaris terbuai dengan asas kebebasan yang dibawa penjajah, yang semakin menyuburkan penyakit masyarakat berjudul mo-limo atau 5M. Takut salah, apa itu berjudul mo-limo atau 5M, sengaja tidak dipaparkan. Ekses jangka panjang mo-limo atau 5M yang mengilhami, menginspirasi perilaku LGBT, bukan wewenang penulis untuk membeberkannya.

Perjalanan watak wong Jawa yang masih mengandalkan daya juang ruang batinnya, mampu mempraktikan syari’at, thariqat dan hakikat Islam secara total, bunder kepleng, ireng tunteng. Wong Jawa yang bahkan merantau sebagai transmigran, sampai ke negeri orang, tidak serta merta berbaur total dengan lingkungan barunya. Wong Jawa yang tanpa sayap mampu melanglang buana, tetap eksis ke-Jawa-annya.

Ruang batin wong Jawa mampu memindai, menengarai siapa saja yang bermaksud tertentu dengan dirinya. Bukan sekedar “weruh sakdurunge winarah” atau bisa juga dapat memakai siasat “ngeli nanging ora keli”.  Daya rasa wong Jawa yang memakai ramuan asah, asih, asuh, menyebabkan mampu berada di mana saja, bergaul dengan siapa saja.

Wong Jawa melakoni hidup dengan posisi walau sebagai “abdi”, tetap dijalankan tanpa banyak tanya.  Menerima kenyataan hidup sebagai tantangan yang harus dihadapi secara total. Ambisi wong Jawa sudah diwakili semboyan “mangan ora mangan, sing penting kumpul”.

Jika saat ini, 2014-2019, ada wong Jawa mendapat amanah sebagai “abdi negara” atau bahasa politiknya adalah kepala negara.

Jika ada partai politik yang jargonnya partainya wong cilik, namun atau tepatnya dibawah kendali, komando, ketiak komunitas wong licik, serta mengganggap kepala negara sebagai suruhan parpol, pekerja parpol, pegawai parpol, kurir parpol, dan seabrek jargon – yang terjadi justru sebaliknya, parpol menjadi kendaraan politik sang kepala negara.

Kita masih merasakan sisa nafas dan bau keringat Orde Baru, namun mengapa kita begitu cepat melupakan fakta bahwa Suharto bisa awet menjadi penguasa tunggal selama lebih dari tiga dasar warsa atau 6 kali pemilu, berkat sukses menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik. Tidak perlu mendirikan parpol utawa menjadi ketua umum parpol. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar