Halaman

Selasa, 08 Maret 2016

Politik Juga Punya Moral

Politik Juga Punya Moral

Setiap pilkada, memancing minat dan niat berbagai pihak yang merasa bisa, merasa patut dan layak menjadi kepala daerah, minimal wakil kepala daerah. Mulai dari yang memandang wajar “rumput tetangga lebih hijau” sampai yang menganut falsafah minimalis “diatas langit masih ada langit”. Idealisme ideologis yang bias, yaitu bisa berbuat banyak bagi bangsa dan negara jika memegang jabatan publik, jika kekuasaan memerintah ada di tangannya.

Jakarta sebagi ibu kota negara yang tak lepas dari masalah BMKG (banjir, macet, kebakaran, gusur) namun karena sebagai lahan basah, subur dan serba ada menjadikannya berdaya tarik ekonomi yang prospektif, menjanjikan dan menggiurkan. Rakyat dengan modal pas-pasan, atau bahkan tanpa modal hanya mengandalkan otot dan fisik, dari pelosok Indonesia berdatangan mengadu nasib.

Fenomena pilkada provinsi, khususnya pilkada  DKI Jakarta 2017 berdaya tarik politik sangat tinggi, jabatan prestisius yang serba memungkinkan. Komponen penduduk bermodal rekam jejak dari berbagai profesi, tokoh masyarakat mengandalkan pengalaman sebagai gubernur di tempat lain bahkan ada yang ingin naik strata, kasta, status dengan mengorbankan jabatan setingkat lebih rendah siap-siap mengadu peruntungan. Wakil rakyat yang sedang kontrak politik, tanpa malu mengajukan dirinya. Tak kurang ada yang merasa perlu turun gunung, merasa saatnya muncul dipermukaan.

Sejarah pilkada DKI Jakarta, mempunyai catatan khusus, walau belum kelam atau masih abu-abu. Menjadi pembelajaran politik bagi generasi mendatang. Ketika Jakarta selain berdaya tarik politik juga bisa menjadi batu loncat menuju kursi yang lebih tinggi. Tepatnya, pada periode 2012-2017 telah terjadi peserta pilkada menggunakan semboyan tinggal glanggang colong playu” (peribahasa Jawa yang arti mudahnya adalah perilaku meninggalkan tanggung jawab). Justru ybs mengantongi ilmu “sopo sing temen bakal tinemu“ yaitu siapa yang sungguh-sungguh, tidak terburu nafsu melakukan sesuatu akan mendapatkan hasilnya. Jika kerjanya hanya setengah-setengah, akan menuai hasil yang sepandan. Jika seseorang tidak menuntaskan sumpah jabatannya, selalu akan tak terpuaskan.

Pekerjaan paling berat adalah melaksanakan amanah sampai tuntas, tidak turun ditengah jalan, tidak ganti kendaraan menuju jabatan yang lebih tinggi.

Jadi, diharapkan Revolusi Mental menjadikan politik mempunyai kandungan moral yang nyata. Mengutamakan moral politik sebagai penyelenggara negara, bukan sekedar menyelesaikan kontrak politik. Bukan bisa menghindar, berkelit dari jurus KPK atau perilaku lainnya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar