Halaman

Selasa, 08 Maret 2016

Geger Golkar dan Praktik Politik Brutal Nusantara

Geger Golkar dan Praktik Politik Brutal Nusantara

Dinamika Golkar pasca Reformasi dan sejak menjelma menjadi partai politik, sangat dinamis dan mudah ditebak arah angin politiknya. Sempalan Golkar mendirikan partai politik, wajar karena tuntutan zaman. Kasus Lapindo yang identik dengan gerakan pro-rakyat, menjadi beban rakyat yang tak berkesudahan. Sejak 29 Mei 2006, lumpur panas mulai menyembur ke permukaan bumi di Porong, Sidoarjo, prov Jawa Timur. Lumpur panas PT Lapindo Brantas = bencana (alam + politik + sosial + ekonomi + infrastruktur + .......... ). tak perlu diperdebatkan lagi.

Terhitung mulai tanggal 29 Mei 2006, lokasi eksplorasi minyak oleh perusahaan minyak PT Lapindo Brantas Inc i di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, provinsi Jawa Timur, telah menyemburkan lumpur panas ke permukaan bumi.Agaknya luberan, luapan, limpahan, limbahan lumpur Lapindo Brantas tetap berjalan sebagaimana mestinya. Semakin dibendung, semakin menggelundung. Semakin dicegah, semakin melimpah. Semakin dicegat, semakin menyengat. Semakin dimanipulasi, semakin menjadi atraksi.

Yang tidak habis pikir, telah terjadi aksi pamer diri oleh kader utama PG yang merasa mampu jadi ketua umum. Jabatan prestisius sebagai ketua umum identik dengan syarat utama menjadi capres di pilpres.

Sudah kehendak sejarah, pasca pesta demokrasi 2014, faktor ideologi Rp sebagai pencetus munculnya kubu dan loyalis dalam tubuh Partai Golkar (PG). Serakah, ambisi untuk mengulang jadi ketua umum semangkin membuktikan maraknya ideplogi Rp. Jangankan jadi ketua umum, tak kurang oknum wakil rakyat tingkat pusat mencari dan menghalalkan segala cara untuk memperpanjang masa jabatannya.

Jangan diartikan geger Golkar, eksternal dan khususnya internal, diakibatkan kader PG berperilaku sebagai pebisnis (bisnis politik) daripada politisi.

PG masif dengan kawanan ahli membuat pernyataan, baku pernyataan. Kalau tak sempat diwawancarai tukang cari berita, dengan memakai jasa running text berbayar bisa menyalurkan aspirasinya. Rakyat menduga dan mengira bahwa PG merupakan kumpulan ahli pernyataan, ahli cuap bin ucap, ahli debat, ahli unjuk gigi. Jauh dari kerja nyata. Atau mereka memakai falsafah ‘bicara adalah kerja. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar