segitiga masalah
revolusi mental, parpol plat merah v parpol plat kuning vs parpol plat hitam
Menyesal
atas kebodohan yang terlanjur kita lakukan secara sadar, bahkan berulang, minimal
pernah kita lakukan dan kita pernah berjanji tidak akan mengulang atau
melakukan lagi, wajar dan berlandaskan iman. Masih tersisa rasa sadar diri dan
masih berfungsi walau muncul di babak akhir. Mengoyak hati begitu kejadian
telah liwat. Garuk-garuk kepala sekedar keheranan atas kebodohan diri sendiri.
Padahal
begitu banyak aspek atau segi kehidupan yang kita jalani secara serial, kita
lakoni secara paralel. Sambil mengetik di laptop, mata mendengarkan acara media
televisi, secangkir minuman hangat siap teguk. Telinga siaga dengar desis air
mendidih. Tangan sesekali menepuk mengusir nyamuk. Tangan dengan cekatan
beralih membuka koran mencari ragam bahasa dan berita. Tangan siap aksi jika
ada suara nada HP.
Di
media sosial ada yang tayang tulisan bahwa ybs menyesal telah memilih Jokowi.
Yang tidak diutarakan, atau yang mendasari rasa sesal begitu heroik, karena
Jokowi salah pilih sistem membentuk kabinet kerja ditambah salah pilih orang.
Sebenarnya bukan salah pilih orang, Jokowi sebagai bangsa timur tidak tega
menolah kado paket nama calon menteri yang disodorkan. Akibat politik
transaksional, dampak ideologi Rp.
Yang
paling menyesal biasanya karena banyak berharap dari jasa dan amal yang telah
diberikan, disumbangkan, didharmabaktikan dengan sukarela. Bahkan sudah
mati-matian sumbang tenaga, lahir batin, jiwa rawa, modal otot dan otak,
menjadi relawan hanya mendapat proyek terima kasih, imbalannya hanya makan
bareng, foto bareng, mejeng bareng.
Rasionalisasi
parpol di zaman Orde Baru, berlanjut secara informal di era pasca Reformasi.
Mengapa orang begitu tega mendirikan partai politik, tanpa mengukur kapasitas
diri. Apa cuma mengandalkan massa loyalis, pengikut sampai relawan bayaran. Apa
cuma menjagakan bisa bangun rumah partai sesuai syarat. Atau ada faktor
terselubung yang tak etis disingkap dan diungkap, walau sudah terlanjur menjadi
bubur.
Singkat
kata, perbedaan mencolok walau tidak drastis antar partai politik di Nusantara
yaitu pada warna plat kendaraan yang dipakai. Ada yang kaya karena masuk parpol.
Ada yang sudah berada baru masuk parpol karena dibutuhkan kiprahnya. Ada yang milyarder
dengan suka rela mendirikan parpol dengan kalkulasi politik atau prospektus
ekonomis. Hanya sopir pribadi yang ingin tahu.
Jangan
heran, segala watak bak di wayang kulit versi Jawa, ada di semua parpol. Hanya
dalang wayang kulit yang tahu watak, karakter, spesifikasi otak tokoh yang
dipegangnya saat ndalang. Akahkah Jokowi sebagai dalang, bisa-bisa bisa
masuk kotak didepak wayang-nya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar