Halaman

Rabu, 16 Maret 2016

segitiga masalah revolusi mental, parpol plat merah v parpol plat kuning vs parpol plat hitam

segitiga masalah revolusi mental, parpol plat merah v parpol plat kuning vs parpol plat hitam

Menyesal atas kebodohan yang terlanjur kita lakukan secara sadar, bahkan berulang, minimal pernah kita lakukan dan kita pernah berjanji tidak akan mengulang atau melakukan lagi, wajar dan berlandaskan iman. Masih tersisa rasa sadar diri dan masih berfungsi walau muncul di babak akhir. Mengoyak hati begitu kejadian telah liwat. Garuk-garuk kepala sekedar keheranan atas kebodohan diri sendiri.

Padahal begitu banyak aspek atau segi kehidupan yang kita jalani secara serial, kita lakoni secara paralel. Sambil mengetik di laptop, mata mendengarkan acara media televisi, secangkir minuman hangat siap teguk. Telinga siaga dengar desis air mendidih. Tangan sesekali menepuk mengusir nyamuk. Tangan dengan cekatan beralih membuka koran mencari ragam bahasa dan berita. Tangan siap aksi jika ada suara nada HP.

Di media sosial ada yang tayang tulisan bahwa ybs menyesal telah memilih Jokowi. Yang tidak diutarakan, atau yang mendasari rasa sesal begitu heroik, karena Jokowi salah pilih sistem membentuk kabinet kerja ditambah salah pilih orang. Sebenarnya bukan salah pilih orang, Jokowi sebagai bangsa timur tidak tega menolah kado paket nama calon menteri yang disodorkan. Akibat politik transaksional, dampak ideologi Rp.

Yang paling menyesal biasanya karena banyak berharap dari jasa dan amal yang telah diberikan, disumbangkan, didharmabaktikan dengan sukarela. Bahkan sudah mati-matian sumbang tenaga, lahir batin, jiwa rawa, modal otot dan otak, menjadi relawan hanya mendapat proyek terima kasih, imbalannya hanya makan bareng, foto bareng, mejeng bareng.

Rasionalisasi parpol di zaman Orde Baru, berlanjut secara informal di era pasca Reformasi. Mengapa orang begitu tega mendirikan partai politik, tanpa mengukur kapasitas diri. Apa cuma mengandalkan massa loyalis, pengikut sampai relawan bayaran. Apa cuma menjagakan bisa bangun rumah partai sesuai syarat. Atau ada faktor terselubung yang tak etis disingkap dan diungkap, walau sudah terlanjur menjadi bubur.

Singkat kata, perbedaan mencolok walau tidak drastis antar partai politik di Nusantara yaitu pada warna plat kendaraan yang dipakai. Ada yang kaya karena masuk parpol. Ada yang sudah berada baru masuk parpol karena dibutuhkan kiprahnya. Ada yang milyarder dengan suka rela mendirikan parpol dengan kalkulasi politik atau prospektus ekonomis. Hanya sopir pribadi yang ingin tahu.

Jangan heran, segala watak bak di wayang kulit versi Jawa, ada di semua parpol. Hanya dalang wayang kulit yang tahu watak, karakter, spesifikasi otak tokoh yang dipegangnya saat ndalang. Akahkah Jokowi sebagai dalang, bisa-bisa bisa masuk kotak didepak wayang-nya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar